Risiko derasnya aliran dana asing yang keluar (capital outflow) dari Indonesia semakin besar menyusul kenaikan suku bunga dana bank sentral Amerika Serikat (AS), Fed Fund Rate. Namun, risiko itu setidaknya bisa diredam dengan keberhasilan program pengampunan pajak (tax amnesty).
Setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada awal November lalu, mata uang rupiah berbalik melemah tajam terhadap dolar AS. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rupiah sepanjang November lalu melemah 3,9 persen. Sedangkan dana asing yang keluar dari Indonesia mencapai US$ 3 mliar selama bulan tersebut.
Tren keluarnya dana asing akan berlanjut setelah bank sentral AS menaikkan suku bunga dananya sebesar 0,25 persen pada Rabu (14/12) kemarin. Ekonom Universitas Gajah Mada Tony Prasetyantono sudah melihat indikasi tersebut. (Baca: Dana Asing Masuk Rp 7 Triliun, Rupiah Paling Menguat di Asia)
Menurut dia, indeks saham di bursa New York sudah menembus level tertinggi sepanjang masa yakni di posisi 19.700. Posisinya naik signifikan dibandingkan saat krisis tahun 2008 lalu yang berada di level 9.000. Artinya, investor di dunia memilih menaruh dana dan asetnya di AS agar lebih aman dan menjanjikan keuntungan lebih tinggi.
“Orang di seluruh dunia dalam rangka menyelamatkan asetnya, lebih baik memilih aset (investasi) berdenominasi dolar AS,” kata Tony dalam seminar Outlook Ekonomi 2017 di Jakarta, Kamis (15/12).
Meski begitu, dia yakin kondisi tersebut tidak akan berlangsung lama. Sebab, kenaikan harga saham bisa menciptakan financial bubble, yang pada suatu saat nanti dapat meletus sehingga membahayakan perekonomian.
Di sisi lain, Tony menilai program pengampunan pajak bisa menjadi alat untuk meminimalisir besarnya dana asing yang keluar. Sebab, pemerintah mendapatkan tambahan penerimaan untuk menekan defisit anggaran. Selain itu, adanya dana masuk ke dalam negeri melalui repatriasi hasil tax amnesty.
(Baca: Terpukul Efek Trump, Cadangan Devisa Susut US$ 3,5 Miliar)
Karena itu, pemerintah harus menjaga keberhasilan program tersebut, terutama meningkatkan repatriasi yang saat ini baru mencapai Rp 144 triliun. “Secara umum, tax amnesty baik, jadi APBN bisa (digunakan) untuk ekspansi. Ruang (defisitnya) kecil,” katanya.
Sementara itu, Direktur Grup Risiko dan Perbankan Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto mengatakan, jika Trump menjalankan kebijakan sesuai janjinya saat kampanye maka akan menimbulkan overheating perekonomian. Sebab, ekspansi fiskal akan mendorong ekonomi tumbuh lebih tinggi. Ujung-ujungnya, kapasitas ekonomi tidak mampu mengimbangi pertumbuhan tersebut (overheating).
Kondisi tersebut kemudian bisa memicu bank sentral AS menaikkan Fed Rate lebih tinggi. Hal ini tentu akan mendorong kenaikan imbal hasil (yield) di AS, sehingga menarik lebih banyak dana asing.
Apalagi, jika dihitung selisih defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) dengan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) Indonesia yang masih negatif. Jadi, Indonesia membutuhkan dana asing untuk membiayai defisit tersebut.
(Baca: Ukur Rupiah, Jokowi Minta Yuan Dijadikan Alternatif Dolar)
Untungnya, defisit transaksi berjalan Indonesia menurun ke level dua persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). “Kalau hanya untuk tutup (selisih) itu saja tidak butuh banyak dana, jadi tidak se-desperate itu untuk hot money. Indonesia itu atraktif, selisih bunga Indonesia dengan Fed Rate tidak terlalu banyak,” ujar Doddy.
Meski begitu, dia melihat keberhasilan amnesti pajak akan membantu menambah likuiditas valuta asing (valas) di dalam negeri. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia terjaga, baik dari sisi inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun defisit transaksi berjalan. Jadi, ndonesia juga menjadi tempat yang menarik untuk berinvestasi.