BRI dan Mandiri Berencana Turunkan Bunga

Arief Kamaluddin | Katadata
19/2/2016, 17.44 WIB

KATADATA - Setelah Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan dan Giro Wajib Minimum, dua lembaga keuangan pemerintah berencana memangkas bunga banknya. Keduanya yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri. Direktur BRI Haru Koesmahargyo menyatakan kebiijakan moneter bank sentral tersebut sangat mendukung perbankan.

“Suku bunga pasti didorong turun,” kata Haru di Jakarta, Kamis, 18 Februari 2016. Haru menjelaskan, pertumbuhan ekonomi yang tidak lebih tinggi dibanding tahun lalu telah memberi pilihan bagi para pengusaha bank untuk memberikan bunga lebih rendah. Dengan demikian, ia menilai akan terjadi kompetisi yang lebih sehat.

Untuk itu, BRI memutuskan akan menurunkan suku bunga deposito dan kredit. Bank pelat merah ini, kata Haru, segera mengambil langkah tersebut sebelum kehilangan momentum. (Baca: Likuiditas Mengetat, Bank Masih Sulit Pangkas Bunga)

Seperti halnya BRI, Bank Mandiri juga akan menempuh kebijakan serupa. Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas menyebut bank ini akan menurunkan suku bunga, “Dalam dua hingga tiga bulan,” ujarnya. Walau sebenarnya, dia mengklaim, bunga deposito di bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sudah sangat rendah dengan di kisaran 6 persen. Sementara itu bunga kredit 9 - 12 persen.

Menurut dia, kondisi likuiditas sempat mengetat pada Desember 2015. Namun hal ini tidak menyentuh Bank Mandiri. Karena itu, kenaikan pajak yang biasa terjadi pada akhir tahun sudah diantisipasi. Dengan demikian, likuiditas sudah disiapkan karena penarikan pajak setiap tahun sudah menjadi hal yang pasti. (Baca: BI Berpeluang Akhiri Rezim Bunga Tinggi).

Sementara itu, Kepala Divisi Treasury BCA Branko Windoe menilai faktor likuiditas telah memicu persaingan antarbank dan lembaga keuangan di pasar. “Dengan adanya penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), likuiditas tidak akan terganggu,” kata Kepala Divisi Treasury BCA Branko Windoe. Penurunan tersebut malahan membantu suku bunga.

Adapun ekonom Bank Permata Josua Pardede menyarankan agar Bank Indonesia memangkas deposit facility rate terlebih dulu sebelum menurunkan BI Rate. Selama bunga deposito tinggi, likuiditas di pasar akan masuk ke perbankan. Sehingga, perbankan tidak akan memberi insentif untuk menyalurkan kredit. “Karena kebijakan menurunkan suku bunga tidak akan efektif tanpa diikuti suku bunga pasar,” kata Josua kepada Katadata, Jumat, 19 Februari 2016.

Ia menjelaskan, dana pihak ketiga (DPK) belum cukup membantu perbankan memenuhi permintaan kredit. Hal ini terlihat dari kredit yang tumbuh 10,1 persen, atau lebih tinggi dari pertumbuhan DPK yang hanya 9 persen tahun lalu. BUMN serta K/L dikhawatirkan mengalihkan uang mereka dari perbankan dengan adanya pembatasan bunga. Selain itu, suku bunga acuan atau BI Rate yang turun tidak otomatis menekan suku bunga bank. Ia menyebut pendalaman pasar di perbankan masih lebih rendah dibanding DPK. (Baca: BI Rate Turun Jadi 7 Persen, Terendah dalam 2,5 Tahun). 

Alhasil, dana masyarakat di perbankan akan tergerus yang akhirnya berdampak pada peningkatan rasio kredit terhadap DPK atau loan to deposit radio (LDR). Artinya, likuiditas perbankan semakin mengetat. Padahal likuiditas perbankan pada akhir 2015 sudah makin ketat karena pemerintah mengejar target penerimaan pajak.

Dengan kondisi seperti ini, perbankan diperkirakan memilih menyalurkan dana ke bank lain karena keuntungan yang didapat akan lebih tinggi. Deposit facility rate sebesar lima persen menjadi penyebab utamanya. Instrumen ini merupakan bunga penempatan dana perbankan di BI dengan nilai lebih rendah dari lending facility atau repo sebesar 7,5 persen. BI menyalurkan repo bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas.

Josua menuturkan, gap sebesar 2,5 persen antara fasbi dan deposit facility rate mendorong perbankan menempatkan dana di bank lain. Ia menilai penurunan GWM sebesar satu persen untuk mendongkrak kredit adalah hal yang sia-sia. Bank akan meraup keuntungan lebih tinggi jika memberi dana kepada pihak lain, dibanding menyalurkan kredit, meski ada tambahan likuiditas Rp 36 triliun dari penurunan GWM.

Reporter: Desy Setyowati