LPS: Bank Kurang Mampu Tangani Risiko Pertumbuhan Kredit

Arief Kamaludin|KATADATA
LPS KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
29/10/2015, 12.19 WIB

KATADATA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan tren kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perbankan masih akan berlanjut hingga akhir tahun ini. Selain itu, perbankan dinilai kurang mampu menangani risiko dari pertumbuhan kredit.

Selama dua tahun terakhir, NPL perbankan memang menunjukkan tren kenaikan, baik secara nominal maupun rasio. NPL secara nominal per Agustus lalu mencapai Rp 107,1 triliun atau melonjak 32,6 persen dari Agustus tahun lalu yang masih sebesar Rp 80,7 triliun. Dalam rentang waktu tersebut, kenaikan nilai kredit macet dengan kolektibilitas 5 melambung 36,4 persen menjadi Rp 67 triliun.

Alhasil, rasio NPL perbankan pada Agustus 2015 mencapai 2,76 persen atau lebih tinggi dari periode sama tahun lalu yang sebesar 2,31 persen. Rasionya memang masih di bawah ketentuan regulator yaitu sebesar 5 persen.

“Kami perkirakan kenaikan rasio NPL masih belum berakhir hingga akhir tahun 2015, terutama akibat masih lemahnya pertumbuhan kredit pada beberapa bank,” kata Ekonom LPS Seno Agung Kuncoro, seperti ditulisnya dalam laporan “Perekonomian dan Perbankan edisi Oktober 2015” pada Kamis (29/10).

Berbeda dengan tahun 2005-2006 dan 2008-2009 yang kenaikan setiap kolektibilitas kredit bermasalah terjadi secara tiba-tiba, peningkatan setiap kolektibilitas NPL periode 2013-2015 berlangsung secara bertahap. Alhasil, meski pertumbuhan kredit di Indonesia tergolong sangat tinggi, LPS menilai perbankan kurang mampu menangani risiko pertumbuhan kredit tersebut.

Selain kenaikan kredit bermasalah, kinerja perbankan maish terganggu oleh penurunan penyaluran kredit akibat melambatnya perekonomian. Hingga Agustus 2015, penyaluran kredit tumbuh 10,9 persen atau lebih lambat dibandingkan periode sama 2014 yang mencapai 14 persen. Menurut Seno, kondisi ini akan menghambat ekspansi penyaluran kredit sehingga berujung pada ancaman pengurangan jumlah karyawan sebagai salah satu upaya efisiensi.

Dengan berbagai faktor yang kurang menguntungkan itu, keuntungan perbankan akan semakin tertekan. Pada Agustus 2015, laba perbankan turun 5,18 persen dibandingkan periode sama 2014. “Terdapat beberapa bank dengan skala aset menengah menghasilkan pertumbuhan laba yang negatif,” imbuhnya.

Sementara itu, Moody’s Investors Service menilai sistem perbankan Indonesia tengah menghadapi gejolak pasar keuangan. “Ada dua sumber utama risiko tersebut,” kata Srikanth Vadlamani, Wakil Presiden Moody’s dalam siaran persnya, Selasa lalu (27/10).

Pertama, utang luar negeri sektor swasta yang tinggi. Nilainya pada Juni 2015 mencapai US$ 170 miliar atau melambung dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Pembengkakan utang di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sekitar 10 persen sejak awal tahun ini berpotensi mengganggu sistem perbankan.

Namun, risikonya terhadap perbankan di dalam negeri rendah karena 70 persen dari utang luar negeri swasta itu kepada pihak terkait, utang oleh BUMN dan utang olek sektor usaha dengan lindung nilai (hedging). Jadi, porsi utang luar negeri yang langsung ke lembaga keuangan tidak besar.

Risiko kedua, gejolak di pasar keuangan bisa menular ke sistem perbankan, khususnya bank-bank lemah. Moody’s mencatat, 10 bank di Indonesia yang  menguasai 65 persen dari total aset perbankan memiliki permodalan kuat dan tingkat keuntungan yang baik. Sedangkan bank-bank kecil masih menunjukkan kondisi keuangan yang sehat.

Reporter: Desy Setyowati, Yura Syahrul