Tak Logis Harapkan Harga Bank Mutiara Rp 6,7 Triliun

KATADATA/ Arief Kamaludin
KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis:
Editor: Arsip
16/6/2014, 17.43 WIB

KATADATA ?  Penjualan Bank Century tak logis jika mengandalkan harga penyertaan modal sementara (PMS). Melihat praktik di negara lain, ongkos pemulihan (recovery rate) sulit mencapai 100 persen.

"Jika melihat ke belakang, recovery rate untuk kasus penyelamatan bank pada umumnya di bawah 100 persen. Paling cuma 30-31 persen. Di Amerika saja hanya 28 persen," ujar ekonom Universitas Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko di Jakarta, Senin (16/6).

Ia mencontohkan pada penyelamatan Bank Central Asia pada saat krisis 1998, biaya recovery hanya 21 persen dengan nilai Rp 5,6 triliun. Sedangkan Northern Rock oleh Komisi Uni Eropa hanya 31 persen dengan nilai 931 juta euro.

Menurutnya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sulit untuk menjual Bank Century sama dengan PMS yaitu Rp 6,7 triliun di tahap pertama, ditambah Rp 1,25 triliun. Pertimbangannya kinerja Bank Mutiara yang tak begitu baik, apalagi ditambah adanya masalah hukum dan politik. Hal itu menjadi pertimbangan investor dalam menentukan harga.

Laporan LPS 2012 menunjukkan ada 13 bank dilikuidasi. Di antaranya ada dua bank dengan recovery rate 100 persen, tiga bank recovery rate nol persen, dan sisanya 8-87 persen.

"Jarang ada yang bisa 100 persen recovery rate-nya saat krisis. Jadi jangan harapkan bisa balik modal," ujarnya.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menjelaskan dua pertimbangan perhitungan. Jika penyelamatan Bank Century awal sebesar Rp 6,7 triliun, lalu kemudian bank tersebut disehatkan dan dijual menjadi Rp 2,8 triliun (dua kali nilai buku). Maka sisanya yaitu Rp 3,9 triliun merupakan ongkos krisis. "Namanya juga krisis masa untung," ujarnya.

Namun jika Bank Century ditutup, LPS harus membayar dana pihak ketiga nasabah sebesar Rp 6,4 triliun. Nasabah dengan tabungan kurang Rp 2 miliar yang harus dibayar LPS sebesar Rp 5,3 triliun. Sedangkan dari sisi pendapatan LPS hanya bisa memperoleh dari potensi penjualan aset sebesar Rp 600 miliar. "Sehingga ongkos penutupan bank sebesar Rp 4,7 triliun," kata Faisal.

Hal senada disampaikan ekonom Universitas Padjajaran Bandung Kodrat Wibowo yang mengatakan, sejak pergantian nama hingga tahun ini, kinerja Bank Mutiara belum menunjukkan peningkatan signifikan.

"Kinerja menurun dari sisi capital ratio, NPL, kredit yang disalurkan, harga saham terakhir rendah dan secara psikologi pasar tidak menjanjikan. Jadi kinerja nggak bagus-bagus amat sejak pergantian nama sampai 2014," kata dia.

Saat ini bahkan, laba Bank Mutiara tercatat menurun sebesar Rp 6,55 miliar menjadi Rp 12,11 miliar di akhir Maret 2014. Sedangkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 18,66 miliar.

Kondisi ini terjadi karena pendapatan bunga bersih perseroan merosot menjadi Rp 24,48 miliar. Penyaluran kredit turun menjadi Rp 10,triliun, NPL sebesar 3,6 persen dan CAR di level 14,06 persen.

"Bagaimana mau dijual dengan harga bagus, kalau kinerja nggak bagus. Karena kinerja mempengaruhi harga terhadap perusahaan yang akan dijual," tuturnya.

Reporter: Desy Setyowati