Dalam waktu berdekatan perusahaan keuangan milik pengusaha Chairul Tanjung, Mega Corpora, mengakuisisi dua bank. Mega Corpora mengakuisisi 3,06 miliar saham atau setara 73,71% dari seluruh saham Bank Harda Internasional dan 26% saham Bank Bengkulu.
Tidak diketahui berapa harga yang disepakati di kedua transaksi tersebut. Mengacu pada harga penutupan saham Bank Harda sehari sebelum pengumuman rencana akuisisi di level Rp 165 per saham, maka transaksi tersebut bernilai sekitar Rp 504 miliar.
Rencana masuknya konglomerat sekelas CT sebagai pemegang saham memberi harapan baru kepada seluruh stakeholder di bank yang tengah mengejar target modal inti minimum Rp 1 triliun yang harus dipenuhi akhir tahun ini. Terbukti harga saham bank berkode emiten BBHI ini langsung menyentuh batas auto reject atas alias ARA.
Apalagi Bank Harda harus menambah lebih dari Rp 700 miliar supaya tidak terdegradasi menjadi bank perkreditan rakyat (BPR). Menurut laporan keuangannya, per September 2020 modal inti bank ini hanya Rp 290,9 miliar, atau masuk kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun.
Seperti Bank Harda, Bank Bengkulu juga termasuk bank BUKU 1 yang masih belum memenuhi ketentuan modal inti minimum. Walaupun bank ini hanya membutuhkan suntikan modal sekitar Rp 150 miliar agar bisa memenuhi aturan OJK karena per September 2020 Bank Bengkulu telah mengempit modal inti sebesar Rp 853,1 miliar. Namun dengan masuknya CT, langkah untuk menuju modal inti Rp 1 triliun akhir tahun ini menjadi lebih ringan.
Sebelumnya Mega Corpora juga telah memiliki saham di dua bank pembangunan daerah (BPD) lainnya, yakni BPD SulutGo, dan BPD Sulteng.
Pentingnya Skala Ekonomi
Aturan terkait permodalan inti minimum bank tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang mulai berlaku Maret tahun ini.
Melalui beleid ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ingin industri perbankan Indonesia didukung dengan permodalan yang kuat. Jika pemilik bank tidak mampu menyuntikkan dana segar, maka otoritas mendorong bank untuk mencari rekan bank lain untuk diajak konsolidasi, merger dan akuisisi.
OJK mensyaratkan permodalan yang lebih besar karena melihat persaingan kedepan akan semakin ketat. Apalagi di masa pandemi corona ini ada perubahan perilaku di masyarakat yang menuntut bank untuk menyesuaikan layanannya sesuai dengan kebutuhan nasabahnya.
“Di masa pandemi ini ada behaviour dari nasabah yang semakin menginginkan layanan cepat, tanpa tatap muka, cukup dengan handphone mereka ingin bisa melakukan apa saja. Ini membutuhkan teknologi, dan teknologi membutuhkan modal,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana.
Tanpa modal yang kuat, mustahil bagi bank untuk menangkap tren itu. Kemampuan ekspansi bank menjadi terbatas, terutama dalam memitigasi risiko-risiko yang muncul akibat pandemi corona yang telah menyebabkan resesi di berbagai negara termasuk Indonesia. membuat roda perekonomian macet.
Akibatnya, bank semakin sulit mengucurkan kredit. Ini diperparah dengan menurunnya kemampuan bayar debitur karena banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan yang membuat rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank melambung jika tidak segera dibentuk pencadangannya. Padahal untuk membentuk pencadangan tersebut bank lagi-lagi membutuhkan dukungan modal.
Menurut data Statistik Perbankan Indonesia, (SPI), kinerja industri perbankan sepanjang tahun ini merosot tajam. Per September 2020 kredit perbankan hanya tumbuh 0,12% secara tahunan dibandingkan periode yang sama 2019.
Kinerja bank BUKU 1 pun terus merosot selama beberapa tahun terakhir. Baik dalam penyaluran kredit, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), ataupun profitabilitasnya.
Asetnya pun terus menyusut. Saat ini bank-bank BUKU 1 hanya menggenggam kue industri perbankan kurang dari 1% untuk aset, DPK, dan kredit, tepatnya kredit 0,65%, DPK 0,62%, dan aset 0,64%.
Oleh karena itu pada akhir 2022, seluruh bank di Indonesia diwajibkan sudah memiliki modal inti minimum sebesar Rp 3 triliun untuk menangkap tren digitalisasi yang semakin kencang. Jumlah tersebut harus dipenuhi secara bertahap, yakni Rp 1 triliun tahun ini dan Rp 2 triliun pada akhir 2021.
“Kami mengharapkan bank-bank yang belum kuat untuk memenuhi aturan ini mencari partner untuk melakukan konsolidasi. Kami menginginkan pada tahun-tahun berikutnya konsolidasi menjadi keharusan bagi bank yang belum bisa memenuhi ketentuan POJK 12/2020,” kata Heru.
Oleh karena itu pada akhir 2022, seluruh bank di Indonesia diwajibkan sudah memiliki modal inti minimum sebesar Rp 3 triliun untuk menangkap tren digitalisasi yang semakin kencang. Jumlah tersebut harus dipenuhi secara bertahap, yakni Rp 1 triliun tahun ini dan Rp 2 triliun pada akhir 2021.
Jika aturan tersebut tidak dipenuhi, bank terancam turun kasta menjadi BPR. OJK pun memahami bahwa untuk pemilik bank menyuntikkan modal hingga Rp 1 triliun setiap tahunnya berat. Oleh karena itu OJK menyarankan konsolidasi bagi bank yang tidak bisa memenuhi aturan modal minimum bisa dengan merger atau akuisisi.
“Kami mengharapkan bank-bank yang belum kuat untuk memenuhi aturan ini mencari partner untuk melakukan konsolidasi. Kami menginginkan pada tahun-tahun berikutnya konsolidasi menjadi keharusan bagi bank yang belum bisa memenuhi ketentuan POJK 12/2020,” kata Heru.
Manuver Bank BUKU 1 Meningkatkan Modal
Ketika aturan tersebut diterbitkan pada Maret 2020, data OJK menunjukkan ada 13 bank umum konvensional dan 4 bank umum syariah yang masuk dalam kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 yang bermodal inti di bawah Rp 1 triliun.
Seiring waktu, jumlah bank BUKU 1 ini terus berkurang. Menurut Statistik Perbankan Indonesia (SPI), per September 2020 bank konvensional BUKU 1 tersisa 10 bank. Namun jumlah bank syariah-nya tidak berubah, masih 4 bank.
Menurut catatan Katadata.co.id, jumlah bank BUKU 1 berkurang setelah melakukan penambahan modal, baik melalui suntikan modal pemilik. Misalnya BPD Banten dan Bank Lampung oleh pemerintah daerahnya masing-masing, serta Bank Kesejahteraan Ekonomi.
Pada akhir 2019, salah satu pemegang saham Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), PT Danadipa Artha Indonesia yang memegang 21% saham, mengambil alih kendali bank tersebut dari pemegang saham lainnya, yakni Induk Koperasi Pegawai RI sebesar 25,43% dan Recapital sebesar 19,68%.
Setelah itu Danadipa kembali menyuntikkan modal melalui private placement, sehingga kepemilikannya naik menjadi 92,63%. Pada akhir 2019 modal inti BKE tercatat hanya Rp 281,19 miliar. Namun pada kuartal I, modalnya telah melesat lebih dari Rp 700 miliar, tepatnya Rp 734,02 miliar menjadi Rp 1,01 triliun. Per September 2020 modal intinya telah tembus Rp 1,3 triliun.
Ada juga bank yang mendapat suntikan modal pasca-diakuisisi oleh pemilik barunya, seperti pada Bank Jago, Bank Yudha Bhakti, dan Bank Royal. Belum termasuk empat bank yang diakuisisi oleh investor asal Korea Selatan, yakni Bank Dinar dan Bank Oke (dulu Bank Andara) yang dibeli APRO Financial, serta Bank Mitraniaga dan Bank Agris yang dibeli Industrial Bank of Korea (IBK).
Bank Jago dibeli oleh Jerry Ng dan Sugito Walujo pada 2019, masing-masing melalui Metamorfosis Ekosistem Indonesia dan Wealth Track Technology Limited. Jerry merupakan mantan Direktur Utama Bank BTPN, sedangkan Sugito adalah pemegang saham BTPN sebelum diakuisisi Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC).
Sebelum diakuisisi, Bank Jago memiliki modal yang sangat mini. Per September 2019 modal intinya hanya Rp 85,33 miliar. Setelah akuisisi rampung, modalnya melesat menjadi Rp 662,11 miliar per Desember 2019. Sembilan bulan kemudian, per September 2020, Bank Jago sudah naik kelas ke BUKU 2 dengan modal intinya sebesar Rp 1,06 triliun.
Perkembangan Modal Inti Bank BUKU 1 (Rp miliar)
Nama Bank | Q3 2020 | Q1 2020 | Q4 2019 |
Bank Konvensional | |||
Harda Internasional | 290,9 | 239,7 | 242,5 |
Yudha Bhakti (Neo Commerce) | 1.071,4 | 921,6 | 906,9 |
Jago (Artos) | 1.057,9 | 642,9 | 662,1 |
Kesejahteraan Ekonomi | 1.307,2 | 1.015,2 | 2812 |
Bisnis Internasional | 702,3 | 470,4 | 465,7 |
Fama Internasional *Q2 | 270,5 | 265,1 | 283,9 |
Prima Master Bank | 265,8 | 318,1 | 323,0 |
BPD Banten | 1.562,0 | 113,5 | 154,1 |
BPD Sulteng | 956,6 | 981,9 | 915,2 |
Bank Bengkulu | 853,1 | 815,3 | 713,9 |
Bank Lampung | 1.042,8 | 714,6 | 697,4 |
Bank Royal | 1.343,1 | 1.325,7 | 301,3 |
Bank Syariah | |||
BJB Syariah | 702,4 | 627,9 | 671,7 |
Bukopin Syariah | 706,8 | 706,7 | 749,1 |
Victoria Syariah | 228,4 | 198,8 | 216,4 |
Net Indonesia Syariah | 651,3 | 594,8 | 592,8 |
Sumber: Laporan keuangan
Bank Yudha Bhakti pada Maret 2019 diakuisisi oleh perusahaan fintech, PT Akulaku Silvrr, yang mencaplok 5,2% saham milik PT Gozco Capital dengan harga Rp 338 per saham. Ketika itu Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Denny Novisar mengatakan bahwa masuknya Akulaku bertujuan mendorong transformasi digital yang tengah dijalankan bank yang kini bergani nama menjadi Bank Neo Commerce.
Setelah itu Akulaku terus meningkatkan porsi saham miliknya melalui berbagai skema mulai dari private placement hingga rights issue, sehingga modal intinya kini mencapai Rp 1,07 triliun per September 2020. “BBYB memiliki basis nasabah ritel, Akulaku piawai dalam bidang teknologi. Dua kombinasi ini sangat potensial di era digital saat ini,” kata Denny seperti dikutip Bisnis.com.
Sedangkan Bank Royal diakuisisi oleh raksasa bank tanah air, Bank Central Asia senilai Rp 1 triliun pada 2019 lalu. Setelah itu BCA juga menyuntikkan modal segar sebesar Rp 1 triliun. Alhasil sejak awal tahun ini modal inti bank yang berganti nama menjadi Bank Digital BCA ini telah menembus Rp 1,32 triliun.
Selain itu ada juga bank yang mencari tambahan modal dari bursa saham. Bank itu adalah Bank Bisnis Internasional, yang resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia melalui skema penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) pada awal September 2020.
Dari IPO Bank Bisnis berhasil meraih dana segar Rp 189,48 miliar. Modal intinya pun melesat menjadi Rp 702,25 miliar pada akhir September 2020. Untuk menutupi kekurangan Rp 300 miliar demi naik kelas BUKU 2, bank berkode emiten BBSI ini sudah merencanakan penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) yang akan dieksekusi pada bulan ini.
Pada kuartal 1 2020 modal inti Bank Banten masih sebesar Rp 113,53 miliar. Namun per September modal intinya telah menembus Rp 1,56 triliun. Kenaikan ini setelah Pemerintah Provinsi Banten melalui PT Banten Global Development menyuntikkan modal Rp 1,55 triliun.
Sehingga tersisa dua bank umum konvensional, yakni Bank Fama Internasional dan Prima Master Bank, serta empat bank syariah, yakni BJB Syariah, Bukopin Syariah, Victoria Syariah, dan Net Indonesia Syariah (dulu Maybank Syariah) yang belum mengungkapkan rencana pemenuhan target modal inti minimum Rp 1 triliun tahun ini.
Banyak Jalan Menuju Roma
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menegaskan bahwa seluruh bank BUKU 1 telah memiliki rencana yang konkret untuk memenuhi aturan permodalan minimum Rp 1 triliun akhir tahun ini, dan telah menyampaikan rencana tersebut pada otoritas.
Hanya saja dia tidak ingin membocorkan bank apa yang telah memiliki rencana tersebut dan akan bergabung dengan bank apa. “Saya ingin sekali menyampaikan itu. Tapi kebanyakan dari mereka sebelum mencapai kesepakatan tidak ingin diumumkan dulu karena masih ada banyak hal yang dibicarakan,” ujar Heru beberapa waktu lalu.
Namun bagi bank yang modal intinya sudah mencapai Rp 1 triliun akhir tahun ini pun perjalanannya masih panjang. Bank-bank ini masih harus mencari tambahan modal Rp 2 triliun lagi agar pada 2023 tidak terdegradasi menjadi BPR, termasuk sebagian bank-bank BUKU 2 yang modal intinya masih di bawah Rp 2 triliun.
Sejumlah strategi sudah dilancarkan sejumlah bank, seperti melantai di bursa efek, merger dan akuisisi. Bank-bank yang telah bermanuver mencari tambahan modal terutama dari kelompok BUKU 1, sedangkan BUKU 2 masih belum terlihat pergerakannya, karena tenggat yang masih akhir 2021.
Salah satu strategi untuk memupuk modal secara organik relatif tidak mungkin dilakukan bank-bank BUKU 1 yang pada kuartal III tahun ini merugi. Bank BUKU 2 masih membukukan keuntungan, namun tipis. Sehingga kalaupun pemegang saham legowo untuk tidak menerima dividen, laba yang ditahan pun tak signifikan untuk mendongkrak modal inti.
Menurut data Statistik Perbankan Indonesia, pada kuartal III, 54 bank BUKU 2 membukukan laba Rp 9,08 triliun. Jika dipukul rata maka laba masing-masing bank tak lebih dari Rp 170 miliar.
Oleh karena itu ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani memperkirakan tren konsolidasi perbankan masih akan berlanjut hingga perbankan mampu memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp 3 triliun pada 2022.
POJK 12/2020 sendiri tidak hanya mengatur cara pemenuhan modal inti minimum melalui merger dan akuisisi, tetapi juga dengan kelompok usaha bank (KUB)yang dikendalikan oleh satu induk. Menurut Aviliani, membentuk kelompok usaha bank akan lebih disukai oleh bank-bank yang kesulitan untuk memenuhi ketentuan modal minimum.
“Mereka yang membentuk KUB (kelompok usaha bank), modal intinya boleh hanya Rp 1 triliun, tidak perlu Rp 3 triliun. Karena menurut saya Rp 3 triliun itu berat untuk dipenuhi kalau bank tidak tergabung dalam grup,” ujarnya.
Opsi ini juga tidak mudah. Tantangannya adalah mencari perusahaan induk yang mau mengambil alih dan menaungi bank di dalam grupnya. Karena setelah bergabung di dalam KUB, maka perusahaan induk harus menanggung risiko jika terjadi sesuatu pada bank yang mereka ambil alih.
“Makanya yang saya lihat bank-bank yang sudah memiliki grup tapi tidak membentuk KUB, atau masih berjalan sendiri-sendiri, nantinya bisa langsung jadi induk KUB kalau non-bank diizinkan membentuk KUB,” kata Aviliani.
Hal ini telah dilakukan Bank Central Asia (BCA) yang membeli Bank Royal kemudian menyuntikkan lagi dana segar sebesar Rp 1 triliun untuk meningkatkan permodalannya. Bank Royal kini berganti nama menjadi Bank Digital BCA untuk menggarap segmen digital, ritel, dan UMKM yang selama ini tidak menjadi fokus BCA.
Hanya saja Aviliani tidak melihat sinyal-sinyal seperti yang dilakukan BCA di bank lainnya. Seperti empat bank pelat merah yang menurutnya memiliki fokusnya sendiri. Bank Mandiri misalnya, sempat dikabarkan akan mengakuisisi Bank Permata, namun batal karena harganya yang dinilai kemahalan.
Bank Mandiri pun telah memiliki Bank Syariah Mandiri dan juga Bank Mandiri Taspen. "Mereka sudah cukup besar, Kecuali mereka mau ngambil untuk bikin bank baru lagi," ujarnya.
Kemudian Bank Rakyat Indonesia (BRI) lebih memilih untuk kongsi dengan Permodalan Nasional Madani (PNM) dan Pegadaian. Sedangkan Bank Nasional Indonesia (BNI) belum pernah mengakuisisi bank karena lebih fokus pada bisnisnya sendiri.
Adapun sebagian besar bank BUKU 1 relatif aman untuk memenuhi target modal inti Rp 1 triliun akhir tahun ini. Baru pada 2021 bank-bank BUKU 2 yang modal intinya belum sampai Rp 2 triliun, akan mulai bergerak. Pilihannya ada dua, menjadi KUB atau merger/akuisisi.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono menilai tantangan bagi bank untuk memenuhi aturan POJK 12/2020 sangat berat. Apalagi di tengah kondisi pandemi corona saat ini yang telah memukul bisnis bank sehingga kredit nyaris tidak tumbuh. Dapat dilihat pada databoks berikut.
"Banyak kendala bagi bank untuk menggali modal tambahan. Permintaan kredit kian sunyi, belum lagi aturan yang mewajibkan bank umum untuk menggunakan PSAK 71, yang berarti bank harus membentuk cadangan kerugian penurunan nilai sejak awal kredit diberikan," ujarnya.
Oleh karena itu dia menyarankan agar otoritas menambah tenggat waktu bagi bank untuk bisa menambah modal intinya hingga sesuai ketentuan POJK 12/2020 sebesar Rp 3 triliun, dari 2022 menjadi pada akhir 2023. Ini supaya bank bisa fokus menghadapi tantangan di depan mata dari adanya pandemi corona.