Menyorot Kinerja Bank Nasional yang Dimiliki Asing di Masa Pandemi
Beberapa tahun terakhir kepemilikan sejumlah bank nasional berpindah ke tangan investor asing melalui sederet proses akuisisi. Bahkan beberapa bank dibeli dengan nilai yang cukup fantastis.
Stakeholder industri perbankan, baik regulator maupun pelaku industri, meyakini kehadiran pemodal asing memperkuat struktur permodalan bank sehingga menambah daya gedor untuk berekspansi.
Apalagi perbankan harus memenuhi ketentuan permodalan minimum sebesar Rp 3 triliun pada 2022. Sehingga investor asing dapat membantu bank-bank yang bermodal cekak memenuhi target tersebut.
Investor asing menggelontorkan dana yang sangat besar untuk mengambil alih bank nasional. Seperti pada akuisisi 88,12% saham Bank Permata oleh Bangkok Bank Public Company Limited yang nilainya mencapai Rp 33,28 triliun belum lama ini.
Namun nilai akuisisi Bank Permata jauh di bawah akuisisi Bank Danamon oleh Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ (Mitsubishi UFJ Financial Group/MUFG). Bank terbesar di Jepang ini menggelontorkan Rp 82,68 triliun untuk mengakuisisi 94% saham Bank Danamon. MUFG juga mencaplok 99% saham Bank Nusantara Parahyangan senilai Rp 3,1 triliun, yang kemudian digabung dengan Bank Danamon.
Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), juga membeli bank nasional dengan harga yang cukup fantastis. Bank terbesar kedua di Jepang ini mengambil alih 96,9% saham Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) senilai Rp 29,46 triliun antara 2013 hingga 2019. SMBC juga menguasai 98,48% saham Bank Sumitomo Mitsui Indonesia yang kemudian dimerger dengan BTPN.
Selain tiga akuisisi yang bernilai fantastis tersebut, masih ada beberapa bank lainnya yang diakuisisi dengan harga yang lebih ramah di kantong investor asing. Mayoritas adalah bank kecil seperti Bank Agris, Bank Mitraniaga, Bank Dinar, serta Bank Andara atau Bank Oke.
Bank Agris dan Bank Mitraniaga diakuisisi oleh Industrial Bank of Korea (IBK). Bank asal Korea Selata ini membeli 95,79% saham Bank Agris senilai Rp 1,14 triliun, dan 71,68% saham Bank Mitraniaga senilai Rp 477,59 miliar. Kedua bank ini kemudian dimerger dan berganti nama menjadi Bank IBK Indonesia.
Sementara Bank Dinar dan Bank Oke diakuisisi oleh perusahaan pembiayaan yang juga berasal dari Korea Selatan, APRO Financial. 77,38% saham Bank Dinar diakuisisi senilai Rp 691 miliar. Sedangkan Bank Oke, yang dulunya bernama Bank Andara, diakuisisi pada 2016 dan 2017. Dua bank ini kemudian digabung menjadi Bank Oke Indonesia.
Kemudian ada juga bank kelompok BUKU (bank umum kegiatan usaha) 3 yang juga diambilalih oleh bank asal Korea Selatan, KB Kookmin Bank, yakni Bank Bukopin. Kookmin menggenggam 67% saham Bank Bukopin melalui dua kali proses penambahan saham yang digelar Bank Bukopin.
Pertama Kookmin menyerap 33,9% saham baru senilai Rp 710 miliar pada penawaran umum terbatas V dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, dan sisanya melalui private placement senilai Rp 3,11 triliun untuk menambah porsi sahamnya menjadi 67%.
Sebagai informasi, OJK hanya mengizinkan kepemilikan saham maksimal sebesar 40% pada satu bank oleh investor lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank. Jika ingin lebih dari itu, maka ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, termasuk harus melakukan penggabungan usaha atau merger.
Kinerja Bank Asing Terpukul Pandemi
Kinerja industri perbankan sendiri hingga kuartal ketiga tahun ini masih berada dalam tekanan pandemi Covid-19. Tekanan dialami bank asing (kantor cabang bank asing) dan bank swasta nasional yang kini telah dikuasai investor asing.
OJK mencatat penyaluran kredit perbankan melambat cukup dalam, hanya tumbuh 0,12% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal III tahun ini menjadi Rp 5.530,6 triliun. Pertumbuhan ditopang oleh bank pelat dan bank pembangunan daerah (BPD).
Sedangkan kredit bank swasta nasional dan bank asing terkontraks. Perkembangan dan pertumbuhan kredit bank berdasarkan kepemilikannya dapat dilihat pada dua databoks berikut ini.
Dari databoks di atas terlihat bahwa laju pertumbuhan kredit KCBA sepanjang tahun ini selalu berada di teritori negatif. Hanya pada Maret dan April 2020 yang pertumbuhannya positif. Alhasil labanya ikut menyusut, seperti pada databoks berikut.
Sama halnya dengan bank swasta nasional yang dimiliki investor asing. Secara keseluruhan kinerja bank swasta nasional sepanjang tahun ini melambat, bahkan terkontraksi, terutama sejak Juni 2020.
“Sejalan dengan perbaikan sektor riil, intermediasi sektor jasa keuangan pada September 2020 masih mampu tumbuh positif. Belum kuatnya permintaan kredit ini mencerminkan sikap sektor swasta yang masih berhati-hati terhadap outlook risiko ke depan,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Rapor Merah Bank Milik Asing Imbas Pandemi
Bank-bank yang saat ini dikuasai investor asing, termasuk dalam kategori bank swasta nasional. Sejalan dengan kredit yang terkontraksi, laba bank-bank swasta nasional yang dimiliki asing juga menyusut.
Bank Danamon, misalnya, pada kuartal III tahun ini labanya rontok hingga 43,11% yoy menjadi Rp 1,48 triliun dari sebelumnya Rp 2,59 triliun. Meski demikian Direktur Utama Bank Danamon Yasushi Itagaki mengatakan kinerja banknya masih positif di tengah iklim usaha yang menantang tahun ini.
Catatan positif Bank Danamon terlihat pada kredit yang masih tumbuh 3,77% yoy, menjadi Rp 110,65 triliun dari sebelumnya Rp 106,62 triliun. Serta rasio kredit seret atau non performing loan (NPL) yang turun menjadi 3,2% dibandingkan 4,1% pada kuartal sebelumnya.
“Kami mampu mengelola NPL serta menyediakan biaya pencadangan yang lebih kuat,” ujar Direktur Utama Bank Danamon Yasushi Itagaki, saat menyampaikan kinerja banknya akhir Oktober lalu.
Senasib, laba BTPN juga menyusut walau tidak sedalam Bank Danamon, yakni sebesar 9,52% yoy pada semester I tahun ini, yakni dari Rp 1,23 triliun menjadi Rp 1,11 triliun. Merosotnya laba terjadi meskipun kredit yang disalurkan masih tumbuh 5,84% yoy menjadi Rp 148,89 triliun.
Namun biaya kredit yang naik hingga 63% Bank BTPN, serta rasio kredit bermasalah (non performing loan) yang naik dari 0,88% menjadi 1,12% menggerus perolehan labanya.
Direktur Utama BTPN Ongki Wanadjati Dana bersyukur bank yang ia pimpin masih dapat bertahan menghadapi tantangan di masa sulit ini. “Dampak dari pandemi dapat diminimalkan,” ujarnya Agustus lalu.
Sementara itu Bank Permata labanya anjlok hingga 60,67% pada sembilan bulan pertama tahun ini, dari Rp 1,09 triliun menjadi Rp 429,76 miliar.
Jika melihat laporan keuangan Bank Permata, koreksi laba terjadi di tengah meningkatnya pendapatan bunga bersih sebesar 8,6% menjadi Rp 4,45 triliun, dan pendapatan non bunga naik 9% menjadi Rp 1,69 triliun. Net Interest Margin (NIM)-nya pun naik dari 4,2% menjadi 4,4%.
Meskipun rasio kredit bermasalah atau NPL masih cukup tinggi dan naik dari 3,3% pada kuartal III 2019 menjadi 3,8%. “Bank mengupayakan secara berkelanjutan untuk memperbaiki NPL melalui restrukturisasi, penghapusan kredit, penjualan NPL, dan pertumbuhan kredit baik,” kata Direktur Utama Permata Ridha DM Wirakusumah.
Kinerja Bank Umum Milik Asing
Nama Bank | Laba | Tumbuh (%) | Kredit | Tumbuh (%) | ||
Q3 2019 | Q3 2020 | Q3 2019 | Q3 2020 | |||
Permata | 1.092,6 | 429,8 | -60,7 | 92.667,6 | 89.090,8 | -3,9 |
Danamon | 2.596,4 | 1.476,9 | -43,1 | 106.625,4 | 110.647,2 | 3,8 |
BTPN* | 1.234,2 | 1.116,7 | -9,5 | 140.673,8 | 148.891,6 | 5,8 |
Bukopin* | 120,1 | 54,1 | -54,9 | 66.160,1 | 67.705,7 | 2,3 |
Oke Indonesia | 5,0 | 13,9 | 178,1 | 3.308,5 | 4.072,9 | 23,1 |
IBK Indonesia | -38,7 | -97,5 | 152,1 | 3.870,8**) | 4.953,7 | 18,7 |
Keterangan: *) Kinerja Semester I. **) Per 31 Desember 2019.
Sumber: Laporan keuangan
Sedangkan Bank Bukopin labanya susut hingga 54,94% dari Rp 120,14 miliar pada semester I 2019 menjadi Rp 54,13 miliar. Koreksi laba Bank Bukopin masih sejalan dengan turunnya pendapatan bunga bersih hingga 30,28%, yakni dari Rp 1,07 triliun menjadi Rp 881,17 miliar.
Walaupun di saat yang sama beban operasional selain bunga turun 5,89% menjadi Rp 941 miliar dari Rp 813,87 miliar. Selain itu NIM-nya pun susut dari 3,1% menjadi 2,45%.
Namun jika melihat laporan keuangan bulanan Bank Bukopin yang diunggah di laman OJK, pada akhir Agustus 2020 perolehan laba bank yang baru diakuisisi Kookmin Bank ini sudah menjadi negatif atau rugi, yakni sebesar Rp 675,53 miliar.
Beberapa faktor pendorong yang menyebabkan kerugian tersebut di antaranya pendapatan bunga bersih yang ambles 57,94% menjadi Rp 482,57 miliar, serta beban operasional selain bunga yang naik 25,13% menjadi Rp 1,23 triliun.
Nasib yang berbeda justru ditunjukkan oleh bank-bank kecil yang belum lama ini diambil alih oleh investor asing, yakni Bank IBK Indonesia, dan Bank Oke Indonesia.
Menurut laporan keuangannya, laba bersih bank Oke Indonesia melesat hingga 178,13% dari hanya Rp 5,03 miliar menjadi Rp 13,99 miliar pada kuartal III 2020. Lompatan laba bersih bank ini salah satunya didorong oleh penyaluran kreditnya yang melonjak 23,1% yoy dari Rp 3,31 triliun menjadi Rp 4,07 triliun.
Sementara Bank IBK Indonesia, pada kuartal III tahun ini masih membukukan kerugian sebesar R 97,53 miliar, atau naik dari Rp 38,69 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Namun dalam laporan keuangannya kerugian tersebut disebutkan sebagai dampak atas penyesuaian proforma setelah proses merger antara Bank Agris dan Bank Mitraniaga.
Dari laporan keuangannya terlihat bahwa penyaluran kredit Bank IBK per September 2020 naik 18,17 secara year to date (ytd) menjadi Rp 4,95 triliun. Pendapatan bunga bersih turun dari Rp 124,51 miliar menjadi Rp 123,25 miliar, dan beban operasional naik dari Rp 140,9 miliar menjadi Rp 242,66 miliar.