IFG Fokus Selamatkan 3 Juta Polis Jiwasraya, Ini Skema Penyelesaiannya

Adi Maulana Ibrahim | KATADATA
Gedung Jiwasraya
Penulis: Lavinda
28/4/2021, 22.49 WIB

Holding BUMN asuransi Indonesia Financial Group (IFG) mengaku akan berfokus menyelamatkan 3 juta pemegang polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan model yang telah digagas para pemangku kepentingan.

Direktur Utama IFG Robertus Bilitea menegaskan Hal ini dilakukan dengan model yang digagas bersama antara Jiwasraya dan IFG, tentu didukung pula oleh Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator.

"Saat ini, restrukturisasi masif sedang dilakukan dengan pola penyelamatan yang telah disepakati," kata Robertus saat acara IFG Progress Launching, Rabu (28/4).

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo memaparkan Jiwasraya memiliki tiga masalah fundamental. Pertama, masalah solvabilitas dan likuiditas yang sudah terjadi sejak lama dan tidak diselesaikan dengan solusi yang dapat memperbaiki fundamental perusahaan.

Untuk menyelesaikan masalah solvabilitas secara sementara, dilakukan window dressing laporan keuangan dengan kabijakan reassuransi dan revaluasi aset sejak 2008-2017. Untuk menyelesaikan masalah likuiditas, manajemen melakukan penerbitan produk asuransi yang bersifat investasi dan bergaransi bunga tinggi.

Kedua, Jiwasraya memiliki tata kelola perusahaan yang lemah dengan aktivitas investasi berisiko. Tidak ada panduan yang mengatur investasi maksimum pada aset berisiko tinggi (high risk asset), sehingga dengan kondisi pasar saat ini, mayoritas aset investasi tidak dapat diperjualbelikan.

Ketiga, tekanan likuiditas dari produk saving plan. Penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk saving plan menyebabkan naiknya pencairan dan penurunan penjualan. Tidak ada aset cadangan (backup asset) yang cukup untuk memenuhi kewajiban dengan rasio kecukupan dan investasi hanya 28% pada 2017 dan menyebabkan gagal bayar.

Hal ini disebabkan oleh penurunan kepercayaan nasabah, klaim yang meningkat signifikan ke 51% dan terus meningkat hingga 85%. Hal itu menyebabkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya.

Ketiga masalah fundamental itu menyebabkan tekanan likuiditas. Mayoritas aset investasi yang dimiliki saat ini tidak memiliki nilai dan tidak liquid. Penjualan produk Saving Plan harus diberhentikan karena sudah gagal bayar. Pendapatan investasi menurun, nilai klaim dan manfaat meningkat sejak 2017.

Nilai Aset Jiwasraya Hanya Rp 15,7 Triliun, RBC Capai 1.003%

Pada akhirnya, solvabilitas juga melemah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai aset yang tidak sesuai dengan nilai pasar, ekuitas menjadi negatif Rp 38,6 triliun dan rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) minus hingga 1.003% per Desember 2020. Padahal batas minimal OJK adalah 120%. Perusahaan membutuhkan tambahan aset tambahan untuk mencapai RBC minimal yang disarankan oleh regulator.

Tekanan likuiditas dan solvabilitas tercermin pada kondisi keuangan Jiwasraya pada 2020. Total liabilitas mencapai Rp 54,5 triliun dengan kecederungan meningkat terus, nilai aset hanya sebesar Rp 15,7 triliun dengan mayoritas aset tidak liquid dan berkualitas buruk.

Alhasil, terdapat pembayaran tertunda (delay payment) sebesar Rp 20 triliun. kondisi aset yang berkuaitas buruk dan pengeluaran produk yang tidak optimal membuat Jiwasraya memiliki defisit likuiditas sebesar Rp 38,6 triliun.

Dengan kondisi ini, pemerintah menyusun berbagai tiga opsi terhadap usulan penyelesaian asuransi Jiwasraya. Pertama, opsi penalangan atau bail out. Dukungan dana dari pemerintah apabila masalah Jiwasraya dianggap memiliki dampak sistemik terhadap industri. Namun, opsi ini tidak dapat dilakukan karena belum ada peraturan, baik dari OJK, maupun KSSK terkait industri asuransi.

Opsi kedua, restrukturisasi, transfer, dan bail in. Ini merupakan dukungan dana dari pemegang saham Jiwasraya yang pelaksanaannya dilakukan secara tidak langsung. Pertimbangannya, restrukturisasi dilakukan dengan baik untuk memastikan portofolio polis yang ditransfer dapat menciptakan keuntungan untuk perusahaan baru. Pemilik perusahaan harus memiliki kapasitas untuk memastikan operasional perusahaan.

Opsi ketiga, likuidasi, yakni pembubaran perusahaan. Hal ini harus dilakukan melalui OJK berdasarkan UU 40/2014 tentang perasuransian. Namun, opsi ini memiliki dampak ekonomi, sosial, dan politik yang cukup signifikan yang akan mendapat haknya.

"Opsi restrukturisasi dianggap paling optimal untuk menyelamatkan pemegang polis dengan pertimbangan aspek hukum, sosial, dan politik," ujar Kartiko.

Saat ini, proses restrukturisasi polis asuransi Jiwasraya terus dilakukan. Hasilnya, pada 26 april 2021, terdapat maksimal 92,9% polis yang berminat menjalani restrukturisasi.

Berdasarkan segmentasinya, polis korporasi yang sepakat mencapai 82,8% atau 1.774 polis dari total 2.143 polis korporasi yang ada. Polis ritel sebanyak 75,3% atau 134.972 polis dari 179.253 jumlah polis ritel.

Terakhir, polis bancassurance atau saving plan sebanyak 92,9% atau 16.223 polis dari 17.459 polis. Proses restrukturisasi berjalan lancar dan ditargetkan selesai pada 31 Mei 2021.