BTPN Syariah Tak Anggap Holding BUMN Ultra Mikro Jadi Ancaman

Arief Kamaludin|Katadata
7/9/2021, 16.04 WIB

PT Bank BTPN Syariah Tbk memastikan fokus bisnis perusahaan ke depan masih menyasar segmen prasejahtera produktif atau ultra mikro. Di mana, per Juni 2021 perusahaan dengan kode emiten BTPS tersebut telah menyalurkan pembiayaan hingga Rp 10,05 triliun.

“Kami akan fokus pada segmen yang kami garap saat ini, yaitu segmen prasejahtera produktif,” kata Direktur Kepatuhan dan Sekretaris Perusahaan BTPS Arief Ismail, dalam public expose (pubex), Selasa (7/9).

Arief juga memandang kehadiran holding ultra mikro yang akan dilakukan Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai kesempatan untuk meningkatkan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Untuk itu, Arief menekankan bahwa pihaknya akan terus fokus menggarap pembiayaan di sektor ultra mikro.

Adapun upaya yang disiapkan untuk memaksimalkan pelayanan bagi nasabah ultra mikro seperti merancang layanan digital. Layanan tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan nasabah dalam menyerap teknollogi.

“Kami sedang melakukan proses pengembangan produk pendanaan, sebagai komitmen kami dengan visi dan misi perusahaan,” ujar Business Development Head Ade Fauzan dalam kesempatan yang sama.

Sepanjang periode Januari-Juni 2021, BTPN Syariah membukukan laba bersih naik 89% menjadi Rp 770 miliar. Sedangkan periode yang sama tahun sebelumnya, perusahaan hanya membukukan laba bersih Rp 407 miliar. BTPS juga membukukan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 10,61 triliun.

Sementara itu, nilai pembiayaan yang berhasil disalurkan per Juni 2021 mencapai Rp 10,05 triliun, dengan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) sebesar 2,4%. Adapun untuk rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) berada di posisi 52%. Sedangkan untuk total aset BTPS per Juni 2021, tercatat tumbuh 14% menjadi Rp 17,41 triliun.

btpn syariah (Katadata/BTPN Syariah)

Direktur BTPN Syariah Fachmy Ahmad menjelaskan, tren restrukturisasi BTPN Syariah mengalami penurunan dari sebelumnya yang sempat mencapai 70% dari total portofolio kredit perusahaan. Namun, per Juni 2021 angkanya menurun signifikan di bawah 17%.

Ke depan, Fachmy optmistis tren restrukturisasi akan menurun seiring dengan meredanya perkembangan kasus Covid-19 di Tanah Air. Di samping itu, NPF juga diperkirakan masih akan terjaga dan berpeluang untuk ditekan.

Bank dengan kode emiten BTPS ini membukukan pencadangan sebanyak 9% di tahun lalu. Tujuan pencadangan atau CKPN tersebut untuk menutupi potensi risiko kerugian atau restrukturisasi karena penerapatan pembatasan aktivitas alias PSBB di 2020.

“Untuk posisi PPKM tahun ini, sejak Juni 2021 kita heads up melakukan pencadangan, karena kita tahu akan ada second wave. Pencadangan sudah dibentuk dan dibukukan dengan baik sepanjang 2021, sehingga risiko karena PPKM tahun ini bisa ter-cover di 2021,” ujar Fachmy.

Dia juga menambahkan, kondisi pembatasan masyarakat di tahun lalu dan tahun ini berbeda. Tahun lalu terjadi lockdown atau pembatasa ketetat yang berdampak pada portofolio bisnis BTPS. Sedangkan untuk tahun ini, Fachmy mengatakan tidak seburuk tahun lalu.

Melansir RTI pada perdagangan Selasa (7/9), saham BTPS tercatat stagnan di level Rp 2.970 per saham dari penutupan perdagangan kemarin. Padahal, di awal pembukaan perdagangan harga saham BTPS sempat naik ke Rp 2.980 per saham. Adapun sepanjang 2021, harga saham BTPS tercatat koreksi 20,80%.