BI Mencatat Kredit Berisiko Perbankan Masih Tinggi

Donang Wahyu|KATADATA
ilustrasi. Outstanding kredit perbankan yang direstrukturisasi pada Juni 2021 turun dari Rp 1.098,63 triliun pada akhir 2020 menjadi Rp 1.066,16 triliun.
Penulis: Agustiyanti
6/10/2021, 18.43 WIB

Bank Indonesia mencatat, restrukturisasi kredit bergerak dalam tren menurun pada semester pertama tahun. Namun, rasio kredit berisiko atau loan at risk (LaR) masih tinggi mencapai 22,67% dari total kredit.

Berdasarkan Laporan Kajian Stabilitas Sistem Keuangan edisi September yang dirilis pekan ini, peningkatan risiko kredit terutama terjadi pada korporasi di sektor yang terdampak langsung pandemi Covid-19 dan pembatasan mobilitas. Sementara outstanding kredit perbankan yang direstrukturisasi pada Juni 2021 turun dari Rp 1.098,63 triliun pada akhir 2020 menjadi Rp 1.066,16 triliun.

“Tren penurunan terjadi pada hampir seluruh segmen kredit, yaitu: konsumsi, komersial, dan UMKM kecuali pada segmen korporasi yang masih terdapat peningkatan,” demikian tertulis dalam laporan BI. 

Restrukturisasi kredit pada korporasi meningkat dari Rp 318 triliun pada akhir tahun lalu menjadi Rp 355 triliun. Sementara restrukturisasi kredit di segmen lainnya serentak turun pada semester pertama tahun ini. 

Restrukturisasi kredit UMKM turun dari Rp 383 miliar menjadi Rp 346 miliar, konsumsi dari Rp 189 miliar menjadi Rp 177 miliar, dan komersial Rp 208 miliar menjadi Rp 188 miliar.

Penurunan permintaan restrukturisasi kredit juga terjadi pada sebagian besar sektor ekonomi. Restrukturisasi kredit sektor perdagangan turun Rp 30,57 triliun, industri Rp 11,15 triliun, dan lain-lain Rp 12,25 triliun. 

Sementara kenaikan restrukturisasi kredit terbesar terjadi pada sektor konstruksi mencapai Rp 15,51 triliun, disusul listrik, gas, dan air Rp 5,3 triliun, dan pertanian Rp 2,34 triliun.

Meski demikian, BI mencatat, kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit, perbankan mampu mempertahankan rasio NPL (bruto) perbakan di bawah nilai ambang batas 5%, yakni mencapai 3,24% pada Juni 2021. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah memperpanjang restrukturisasi kredit hingga 2023. Selain masih dibutuhkan masyarakat, kebijakan ini juga ditempuh karena perbankan dianggap semakin baik dalam mengelola risiko. Indikasi ini terlihat dari restrukturisasi kredit yang turun dan cadangan perbankan yang meningkat.

"Dengan pembentukan cadangan yang terus meningkat, perbankan itu siap untuk mengantisipasi berbagai hal terkait dengan restrukturisasi kredit," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dalam diskusi virtual dengan media, Rabu (8/9).

OJK menyatakan, akan terus mencermati performa perbankan. Pengawasan setiap saat akan dilakukan melalui prudential meeting untuk memantau kinerja perbankan merespon kredit-kredit yang direstrukturisasi tersebut.

Pengawasan OJK mengacu ketentuan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 48 tahun 2020. Dalam peraturan tersebut terdapat empat aspek yang akan  diperhatikan dalam penerapan manajemen risiko oleh perbankan dalam restrukturisasi kredit.

Pertama, dalam memberikan perpanjangan, perbankan perlu memperhatikan kriteria debitur restrukturisasi yang eligible. Perbankan perlu melakukan self assessment terhadap debitur yang mampu terus bertahan, terutama yang masih memiliki prospek usaha.

Kedua, perbankan perlu memperhatikan kecukupan pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Debitur diminta untuk mulai membentuk CKPN apabila bank mulai menilai yang bersangkutnya tidak lagi mampu bertahan setelah mendapat restrukturisasi tahap pertama.

Ketiga, perbankan yang hendak akan melakukan pembagian dividen diminta untuk memperhatikan ketahanan modalnya terlebih dulu. Keempat, perbankan diminta untuk melakukan stress testing terhadap dampak restrukturisasi terkait dengan permodalannya dan likuiditasnya.