Hari Peringatan Oeang RI, Ini Perjalanan Sejarah Penerbitan Rupiah

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.
Pedagang menunjukkan pecahan uang rupiah kuno di Pasar Baru, Jakarta. Indonesia untuk pertama kalinya menerbitkan mata uang resmi yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI). Penerbitan ORI diumumkan Wakil Presiden Mohammad Hatta melalui siaran Radio Rakyat Indonesia (RRI) Yogyakarta.
Penulis: Agustiyanti
30/10/2021, 15.25 WIB

Hari Oeang Republik Indonesia jatuh setiap tanggal 30 Oktober. Tujuh puluh lima tahun lalu pada tanggal yang sama, oeang Republik Indonesia pertama kali diterbitkan dan menjadi simbol kemerdekaan Indonesia sebelum beredar menjadi rupiah seperti saat ini. 

Mengutip laman Kementerian Keuangan, oeang RI beredar pertama kali pada 30 Oktober 1946. Namun, rencana penerbitannya sudah bermula sejak 2 Oktober 1945 saat pemerintah mengeluarkan Maklumat yang menetapkan bahwa uang NICA (netherlands indies civil administration) tak berlaku lagi. 

Sehari kemudian, pemerintah menerbitkan maklumat yang menentukan jenis-jenis uang yang sementara masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Saat itu, Indonesia memiliki empat mata uang yang sah.

  1. Sisa zaman kolonial Belanda yaitu uang kertas De Javasche Bank. 
  2. Uuang kertas dan logam pemerintah Hindia Belanda yang telah disiapkan Jepang sebelum menguasai Indonesia yaitu DeJapansche Regering dengan satuan gulden (f) yang dikeluarkan tahun 1942. 
  3. Uang kertas pendudukan Jepang yang menggunakan Bahasa Indonesia yaitu Dai Nippon emisi 1943 dengan pecahan bernilai 100 rupiah. 
  4. Dai Nippon Teikoku Seibu, emisi 1943 bergambar Wayang Orang Satria Gatot Kaca bernilai 10 rupiah dan gambar Rumah Gadang Minang bernilai 5 rupiah.                                          

Tak lama kemudian, Menteri Keuangan A.A Maramis membentuk Panitia Penyelenggara pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945. Panitia diketuai T.R.B. Sabaroedin dari Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan anggota-anggotanya terdiri dari Kementerian Keuangan yaitu H.A. Pandelaki & R. Aboebakar Winagoen dan E. Kusnadi, Kementerian Penerangan yaitu M. Tabrani, BRI yaitu S. Sugiono, dan wakil-wakil dari Serikat Buruh Percetakan yaitu Oesman dan Aoes Soerjatna.

Tim Serikat Buruh Percetakan G. Kolff di Jakarta selaku tim pencari data, mencari percetakan dengan teknologi yang relatif modern di Jakarta dan mengusulkan G. Kolff di Jakarta dan percetakan Nederlandsch Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Malang sebagai calon percetakan yang memenuhi persyaratan.  Sementara pembuat desain dan bahan-bahan induk (master) berupa negatif kaca dipercayakan kepada percetakan Balai Pustaka Jakarta. 

Kerja yang rumit ini dilakukan oleh Bunyamin Suryohardjo, sedangkan pelukis pertama Oeang Republik Indonesia adalah Abdulsalam dan Soerono. Proses pencetakan berupa cetak offset dilakukan di Percetakan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta yang berada di bawah Kementerian Penerangan.

Pencetakan ORI dikerjakan setiap hari dari jam 7 pagi hingga 10 malam sejak Januari 1946. Namun, pada Mei 1946, situasi keamanan mengharuskan pencetakan ORI di Jakarta dihentikan dan terpaksa dipindahkan ke daerah-daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo. 

Hal ini yang menyebabkan, ketika ORI pertama kali beredar pada 30 Oktober 1946 yang bertandatangan di atas ORI adalah A.A Maramis meskipun sejak November 1945 ia tidak lagi menjabat sebagai menteri keuangan. Pada waktu ung bereda,  posisi menteri keuangan dijabat oleh Sjafruddin Prawiranegara di bawah Kabinet Sjahrir III. 

Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946 ditetapkan berlakunya ORI secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Undang-Undang tanggal 1 Oktober 1946 menetapkan penerbitan ORI. 

Penerbitan Uang adalah Tanda Kemerdekaan

Pada detik-detik diluncurkankannya ORI tepatnya 29 Oktober 1946, Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan pidatonya melalui Radio Republik Indonesia  (RRI) Yogyakarta yang menggelorakan semangat bangsa Indonesia sebagai negara berdaulat dengan diterbitkannya mata uang ORI.

“Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi,” ujar Harra saat itu. 

Selain uang Jepang,  Javasche Bank juga tak lagi perlaku. Hatta menegaskan, uang adalah tanda kemerdekaan negara. Emisi Pertama uang kertas ORI diterbitkan pada 30 Oktober 1946.

Uang De Javasche Bank (Bank Indonesia)
 

Pada ORI penerbitan pertama yang berlaku mulai 30 Oktober 1946 tercantum tanggal emisi 17 Oktober 1945.  Tindakan pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia sebelum mengedarkan ORI adalah menarik uang invasi Jepang dan uang Pemerintah Hindia Belanda dari peredaran. 

Penarikan kedua uang tersebut dilakukan berangsur-angsur melalui pembatasan pemakaian uang dan larangan membawa uang dari satu daerah ke daerah lain.  Pembatasan  dilakukan dengan melarang masyarakat membawa uang tunai lebih dari Rp 500 seorang atau Rp 1.000 sekeluarga ke kota Jakarta dan Bogor, atau sebaliknya tanpa seizin Menteri Keuangan. Uang invasi Jepang dan uang NICA tidak boleh dikeluarkan dari dari Jawa dan Madura dan juga tidak boleh dimasukkan ke daerah-daerah di luar Jawa dan Madura.

Nilai ORI melalui Undang-Undang tanggal 25 Oktober 1946 ditetapkan 10 rupiah ORI = 5 gram emas murni, kurs ORI terhadap uang Jepang sebesar 1:50 untuk Pulau Jawa & Madura, dan 1:100 untuk daerah lainnya.

Penyelamat dari Inflasi

Penerbitan ORI selain ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan Republik Indonesia juga bertujuan untuk menyehatkan ekonomi yang tengah dilanda inflasi hebat. Pada awal beredarnya ORI, setiap penduduk diberi Rp 1 sebagai pengganti sisa uang invasi Jepang yang masih dapat digunakan sampai dengan 16 Oktober 1946. 

Namun pada saat itu, peredaran ORI belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Selain faktor perhubungan, masalah keamanan juga berpengaruh karena sebagian wilayah Indonesia masih berada di bawah kedudukan Belanda. Kedua hal ini menyebabkan pemerintah Indonesia kesulitan untuk menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan moneter. 

Bahkan pada 1947, pemerintah terpaksa memberikan otoritas kepada daerah-daerah tertentu untuk mengeluarkan uangnya sendiri yang disebut Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).  Uang tersebut bersifat sementara dan kebanyakan dinyatakan oleh penguasa setempat sebagai alat pembayaran yang hanya berlaku di tempat tertentu. 

Oeang Republik Indonesia dalam perjalanannya juga pernah berganti menjadi uang federal. Hal ini ditetapkan Menteri Keuangan Syarifuddin Prawiranegara pada 1 Januari 1950 sering hasil kesepakatan Konferensi Meja Bunda. 

Menteri Keuangan diberi kuasa untuk mengeluarkan uang kertas yang memberikan hak piutang kepada pembawa uang terhadap Republik Indonesia Serikat. Undang-Undang Darurat tanggal 2 Juni 1950 yang mulai diberlakukan 31 Mei 1950 mengatur berbagai hal berbagai tentang pengeluaran uang kertas atas tanggungan Pemerintah RIS.

Maka mulai 27 Maret 1950, telah dilakukan penukaran ORI dan ORIDA dengan uang baru yang diterbitkan dan diedarkan oleh De Javasche Bank. Sejalan dengan masa Pemerintah RIS yang berlangsung singkat, masa edar uang kertas RIS juga tidak lama, yaitu hingga 17 Agustus 1950 ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk kembali. 

Pada Desember 1951, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan UU No. 11 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Sesuai dengan tanggal berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia. 

Setelah Bank Indonesia berdiri pada tahun 1953, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan BI. 

Pemerintah menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp 5, sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp 5 ke atas.  Adapun hak tunggal Bank Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sesuai Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968

Saat ini, uang rupiah memuat tanda tangan pemerintah dan Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang. Pemerintah dalam Undang-Undang tersebut adalah Menteri Keuangan yang sedang menjabat pada saat uang tahun emisi 2016 terbit. 

Oleh karena itu, pada tanggal 19 Desember 2016, tanda tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati disertakan bersama dengan tanda tangan Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo di berbagai pecahan uang baru tersebut.