JHT Cair Usia 56 Tahun Batal, Bagaimana RI Hadapi Era Populasi Menua?

Donang Wahyu|KATADATA
Ilustrasi. Penguatan dana pensiun menjadi isu kritis di Indonesia saat ini mengingat era populasi menua akan dihadapi dalam kurun waktu kurang dari dua dekade.
Penulis: Agustiyanti
9/3/2022, 14.12 WIB

Pemerintah membatalkan rencana untuk mengatur pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Tenaga Kerja hanya dapat dilakukan di usia 56 tahun. Kebijakan ini semula dikeluarkan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya era populasi menua atau aging population pada 2039. Lantas bagaimana Indonesia menghadapi risiko populasi menua?

Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman menilai, penguatan dana pensiun menjadi isu kritis di Indonesia saat ini. Indonesia akan kehilangan bonus demografi pada 2038 dan memasuki era populasi menua sehingga  butuh antisipasi untuk membiayai penduduk lanjut usia di masa depan, 

“Kebijakan pensiun yang terukur merupakan agenda penting bagi Indonesia karena karakteristik demografis,” ujar Ibrahim dalam riset yang diperoleh Katadata.co.id, Rabu (9/3). 

Ia menjelaskan, tingkat penetrasi dana pensiun publik masih sangat rendah dibandingkan negara lain. Studi IFG Progress pada tahun lalu menunjukan dana JHT dan Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan hanya mencapai 2,73% terhadap PDB pada 2020. Angka ini jauh di bawah negara berkembang lain seperti India sebesar 7,2%, Thailand 12,74%, Brazil 14,97%, apalagi Malaysia yang mencapai 61,42%.  

IFG Progress mengidentifikasi penyebab masih rendahnya penetrasi dana pensiun di Indonesia. Faktor pertama, yakni rendahnya partisipasi tenaga kerja Indonesia pada program dana pensiun. Dari sekitar 128,5 juta pekerja, hanya 20,6 juta pekerja formal yang memiliki tabungan pensiun dari BPJS TK, Taspen, dan Asabri dan 200 ribu pekerja informal yang memiliki akses pada program Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Tenaga Kerja. 

Faktor kedua, yakni tingkat persentase kontribusi wajib dana pensiun dari pekerja maupun pemberi kerja. Di BPJS Tenaga Kerja, kontribusinya hanya mencapai 8,7%. Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Filipina yang mencapai 11%, Vietnam 22%, dan Brunei 17%. 

Kontribusi yang rendah membuat kemampuan dana pensiun yang diterima untuk membiayai kehidupan pensiunan di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain. Menurut perhitungan IFG Progress, rata-rata dana pensiun yang diterima hanya dapat membiayai kehidupan pensiunan selama 14 tahun. Sementara dana pensiun yang diperoleh pensiunan di negara-negara ASEAN lain dapat membiayai kehidupan pensiunan hingga lebih dari 20 tahun. 

Head of IFG Progress Reza Yamora Siregar menekankan, era populasi menua yang akan dihadapi Indonesia kurang dari dua dekade lagi dapat membebani fiskal dan perekonomian jika tak disiapkan dengan baik. Dampaknya dapat berlangsung hingga dua dekade ke depan atau 2045. 

"Kalau kita sudah memasuki aging population sedangkan Indonesia belum menjadi negara kaya, ini akan menjadi problem. Untuk membiaya aging population ini dibutuhkan anggaran yang besar terutama untuk kesehatan." ujarnya. 

Di sisi lain, menurut Reza, pengembangan dana pensiun juga krusial untuk mewujudkan target Indonesia menjadi negara kaya atau berpenghasilan tinggi pada 2045. Berdasarkan studi yang dilakukan IFG Progress, Indonesia butuh meningkatkan kapasitas sektor keuangan untuk mampu mendorong target tersebut hingga dua atau tiga kali lipat dari kondisi saat ini. Hal ini berkaca pada kondisi sektor keuangan di negara-negara yang saat ini masuk dalam kelompok menengah atas. 

"Sektor keuangan harus diperbesar dan juga didorong pemerataannya. Saat ini, sektor keuangan kita masih didominasi oleh perbankan," ujarnya. 

Di banyak negara maju, menurut dia, dana pensiun menjadi sumber pembiayaan yang besar terutama untuk pembangunan. Ia pun menilai dana pensiun di Indonesia masih memiliki potensi yang besar untuk ditingkatkan. 

Berdasarkan studi IFG Progress, dana pensiun di Indonesia masih berpotensi meningkat hingga 6-7 kali lipat dari kondisi saat ini. Potensi ini baru mencakup dana pensiun publik yang dikelola pemerintah dan belum termasuk dana pensiun swasta.

Ada beberapa hal yang menurut IFG Progress dapat dilakukan pemerintah. Pertama, mendorong lebih banyak tenaga kerja di sektor formal. Saat ini, sebagian besar tenaga kerja di Indonesia berada pada sektor informal. Undang-Undang Cipta Kerja diharapkan dapat mendorong formalisasi tenaga kerja.

Kedua, mendorong skema wajib untuk dana pensiun. Berdasarkan data IFG Progress, hanya sekitar 40% tenaga kerja formal yang berpartisipasi di dana pensiun. Transformasi skema sukarela menjadi skema wajib sangat berpotensi mendorong kontribusi dana pensiun.