Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,5 persen, dengan berpatokan pada angka inflasi inti yang terkendali dan surplus perdagangan yang kuat.
Sejauh ini BI memandang stabilitas ekonomi masih menjadi prioritas, dan keputusan mengulur kenaikan suku bunga acuan ini adalah antisipasi dari risiko gejolak lebih besar di pasar global.
Radhika Rao, ekonom senior Bank DBS Asia dalam laporan riset bertajuk ”High Subsidy Budget Leaves Bank Indonesia with More Headroom” mengatakan performa rupiah yang cenderung baik, surplus transaksi berjalan, serta tingginya surplus neraca perdagangan membuat tekanan eksternal tidak begitu berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
”Kondisi tersebut juga memberikan ruang lebih bagi BI untuk mengulur kenaikan suku bunga acuan, sehingga BI akan mempertahankan suku bunga acuan utama di kisaran 3,5 persen.” Ujar Rao.
Rao mengatakan perubahan penting dalam lanskap global dan domestik telah memberi penilaian ekonomi khusus bagi bank sentral. Melihat pertumbuhan global dari keseluruhan, perkiraan pertumbuhan ekonomi kemungkinan dipotong dari 3,5 persen yoy menjadi 2,5 persen yoy.
”Sementara pada pertumbuhan domestik dipatok di angka 4,9 persen untuk 2022 (4,5 persen – 5,3 persen),” ujar Rao.
Di samping itu, Bank Indonesia menaikkan Rasio Persyaratan Cadangan (RRR) dan mewajibkan bank memberikan 7,5 persen dari cadangan mereka pada Juli dan 9 persen mulai September untuk menyerap likuiditas.
Kebijakan ini merupakan perubahan dari penetapan tiga kenaikan RRR sebelumnya secara bertahap di 2022 dari 3,5 persen menjadi 6,5 persen pada September.
”Penggunaan RRR ini ditujukan untuk pemberi pinjaman konvensional dan sebagai upaya menyerap likuiditas dengan cara yang tidak mengganggu,” tambah Rao.
Menurut Rao dalam laporan bertajuk ”Bank Indonesia Extends Pause On Rates, Bides Time” peningkatan RRR akan menormalisasi kondisi uang tunai yang akan mencapai 9 persen serapan pinjaman di kuartal terakhir 2022.
Sejauh ini RRR dilaporkan telah menyerap senilai Rp 219 triliun likuiditas, dan BI juga telah mengurangi kepemilikan obligasinya.
”Ada sekitar Rp 390 miliar Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual. Ini sebuah langkah untuk penyesuaian langsung dengan kondisi.”
Rao memperkirakan situasi perekonomian tidak berubah terlalu jauh, termasuk pertumbuhan 4,5-5,3 persen untuk tahun ini, dan defisit transaksi yang berjalan di kisaran -0,5-1,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Di luar itu, inflasi 2022 diprediksi terlihat sedikit lebih tinggi dari 4 persen tetapi akan kembali ke kisaran 2-4 persen pada 2023.
Dengan berkaca pada jalur komoditas yang lancar, sektor makanan berjalan baik, dan berlalunya kenaikan harga, kemungkinan inflasi rata-rata akan menyentuh kisaran 4 persen di 2022.
Kemungkinan lainnya, secara inti inflasi diprediksi akan berada di kisaran 2,7 persen pada 2022, dengan sedikit kenaikan menjadi 3 persen di kuartal terakhir 2022.
”Beban produk bahan bakar di keranjang konsumsi akan membatasi limpahan ke inflasi utama,” kata Rao
Di sisi lain pemerintah memproyeksikan defisit fiskal 2022 akan turun menjadi -3,9 persen dari PDB. Jika dibandingkan dengan indikasi sebelumnya sebesar -4,5 persen dan yang telah dianggarkan sebesar -4,85 persen, proyeksi ini menandakan kebutuhan pembiayaan pada 2022 secara efektif turun dari proyeksi sebelumnya.
”-3,9 persen dari PDB itu sebesar Rp 732,2 triliun.”
Selain itu neraca fiskal di semester pertama 2022 telah mencapai surplus kecil sebesar 0,4 persen dari PDB, yang didukung oleh kenaikan 55 persen yoy pendapatan pajak.
Hal ini telah menyebabkan target penerbitan utang diturunkan dari kuartal satu dan kuartal dua sebesar Rp 241 triliun dan Rp 154 triliun, menjadi Rp 147 triliun di kuartal ketiga.
Terkait hal itu, BI berencana untuk mengoordinasikan langkah-langkah dengan pemerintah untuk memperhatikan dampak positif dari anggaran subsidi yang lebih tinggi terhadap inflasi.
Salah satu langkah yang akan dilakukan pemerintah melalui kementerian keuangan adalah menaikkan alokasi subsidi, terutama di sektor energi, untuk menekan pengaruh inflasi domestik terhadap daya beli konsumen.
”Seperti yang dibahas dalam anggaran, subsidi yang tinggi akan diprioritaskan untuk BBM dan listrik, sedangkan energi non-subsidi akan dinaikkan,” tambahnya.
Untuk perdagangan, sepertiga dari output perdagangan dicakup oleh sektor makanan, biodiesel, dan komoditas lainnya, sementara sisanya diekspor.
Sektor-sektor tersebut dinilai sebagai salah satu sektor yang cukup signifikan membantu tercapainya surplus perdagangan tahun ini, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terjaga dan berpotensi mencapai stabilitas perekonomian lebih lanjut.