Emisi karbon dari pembakaran energi dan aktivitas industri di skala global mengalami peningkatan sepanjang 2021. Data International Energy Agency (IEA) menyebutkan, emisi karbon dunia pada 2021 terbanyak dari Tiongkok mencapai 11,94 gigaton CO2.
Informasi di atas dikutip dari Databoks Katadata. Dikemukakan pula bahwa jika ditotalkan, pada 2021, emisi karbon pada skala global mencapai 36,3 gigaton CO2. Ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
IEA mencatat juga, emisi karbon global tahun lalu terbanyak berasal dari pembakaran batu bara dan gas alam. Peningkatan emisi karbon pun terjadi hampir di seluruh negara, yang terbesar adalah Brasil, India, Tiongkok, Amerika Serika, dan negara-negara Uni Eropa.
Adapun, saat ini negara-negara di dunia tengah mengarah kepada implementasi praktik bisnis berkelanjutan menuju ekonomi nol emisi karbon. Dan Asia dinilai memegang peran krusial dalam perjalanan dunia menuju target emisi nol, termasuk Indonesia. Upaya menekan emisi karbon di kawasan Asia diperkirakan membutuhkan biaya US$66 triliun.
Pembiayaan terhadap ekonomi hijau membutuhkan komitmen dan keterlibatan erat antara swasta, investor, maupun pemerintah. Pasalnya, negeri ini butuh dana superjumbo untuk membiayai dampak perubahan iklim dan menetralkan emisi karbon.
Mengutip pemberitaan Katadata bertajuk “Akrobat Gali Lubang Menambal Ongkos Besar Ekonomi Hijau”, dikemukakan bahwa kebutuhan dana untuk mewujudkan penurunan emisi karbon berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 persen sampai 2030 sebesar Rp3.779,63 triliun, setara Rp343,6 triliun per tahun.
Pendanaan yang berasal dari pemerintah tak lebih dari 34 persen setiap tahun. Oleh karena itu, kekurangannya harus ditambal dari nonpemerintah, misalnya sektor swasta, perbankan, masyarakat, hingga mitra kerja sama internasional, baik bilateral dan multilateral.
Ya, sektor perbankan memiliki peran strategis dalam mewujudkan target Indonesia nol emisi karbon pada 2060. Perbankan juga menyadari, mereka perlu cepat beradaptasi, salah satunya HSBC.
Oleh karena itu, HSBC bersama sekitar 115 bank global dari 41 negara bekerja sama membentuk Net-Zero Banking Alliance. Aliansi ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan pembiayaan hijau.
Group Chief Sustainability Officer HSBC Dr. Celine Herweijer mengutarakan, wujud komitmen dukungan pihaknya terhadap green banking misalnya dengan menghentikan pembiayaan untuk pembangkit listrik bertenaga batu bara. Kebijakan ini dimulai dari Uni Eropa pada 2030, lalu semua kawasan pada 2040.
“Di HSBC, kami membuat komitmen nyata untuk mengurangi pembiayaan terhadap sektor bisnis terkait bahan bakar fosil secara bertahap. Hal ini sebagai salah satu langkah yang diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius,” katanya dalam artikel yang dipublikasikan World Economic Forum Annual Meeting.
Namun, perlu diakui bahwa penyaluran pembiayaan hijau oleh perbankan bukan tanpa tantangan. Mengutip hasil wawancara Katadata dengan salah satu bank BUMN, dalam artikel berjudul “Kami Berupaya Menjadikan Green Banking sebagai Pondasi Bisnis” dikemukakan, setidaknya ada enam tantangan dalam implementasi green financing.
Pertama, perlunya peningkatan awareness terkait pendanaan hijau di industri perbankan maupun sektor lainnya. Kedua, ekosistem green finance yang masih dalam tahap awal perencanaan. Ketiga, regulasi, framework dan standar terkait green products sedang terus dikembangkan.
Keempat, diperlukan upaya besar dan komitmen dalam skala nasional dalam mengembangkan green financing. Kelima, adanya tambahan biaya, tangible dan intangible, yang harus diinvestasikan untuk implementasi ESG (Environmental, Social, Governance) di perusahaan. Keenam, pengembangan insentif yang efektif dan sesuai kebutuhan pelaku pada sektor hijau, selain insentif eksisting yang ada.
HSBC juga mengakui, ada banyak hal yang harus diselaraskan. “Kebenarannya bahwa investasi yang mendukung transisi energi masih kurang gesit, baik di Asia maupun kawasan lain. Tujuan kami, ingin mematahkan pola ini, yang membuat aset hijau kekurangan aliran investasi,” tutur Herweijer.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pihaknya memiliki tiga prinsip dasar untuk menghadapi kondisi tersebut. Pertama, krisis energi yang terjadi saat ini harus mengkatalisasi pembuatan kebijakan yang lebih baik dan lebih konsisten. Alhasil, diharapkan risiko investasi ke ranah energi terbarukan dan energi bersih semakin minim.
Kedua, pipeline proyek investasi berkelanjutan harus dibuka. Pasalnya, investor kerap kesulitan untuk memastikan apakah suatu proyek benar-benar hijau. Selama ini, standar pengungkapannya lemah bahkan tidak merata di berbagai wilayah.
Ketiga, imbuh Herweijer, regulator sebaiknya dapat lebih menyelaraskan beragam aturan permodalan dengan agenda nol emisi. Dengan demikian, risiko sistemik di sektor perbankan terkait pendanaan hijau dapat relatif teratasi.
Menurutnya, saat ini masih fase-fase awal sehingga terdapat begitu banyak yang mesti dikerjakan dan memerlukan kolaborasi radikal. Yakni, kerja sama antara perbankan, klien, dan para investor, serta tentunya dengan regulator.
“Business as usual telah berubah; sektor finansial kini lebih mengerti bahwa misi transisi energi ke nol emisi harus berasal dari lubuk hati,” ucap Herweijer pada pengujung paparannya.
Guna membahas lebih detil terkait beragam kebijakan, rencana, dan strategi pemerintah maupun swasta dalam transisi menuju karbon netral di tengah krisis energi ini, HSBC bersama Katadata menggelar HSBC Indonesia Summit 2022.
Bertajuk “Powering the Transition to Net Zero (Indonesia’s Pathway for Green Recovery)”, konferensi ini akan mengupas tantangan dan masalah yang dihadapi Indonesia maupun perusahaan dalam mitigasi perubahan iklim. Dan akhirnya mencari solusi bersama atas permasalahan dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon, khususnya dalam pembiayaan/investasi.