Vale Indonesia dan Mitra Asing Bangun 8 Lini Pengolahan Feronikel

PT Antam Tbk
Ilustrasi aktivitas peleburan nikel.
Penulis: Lavinda
29/6/2021, 00.38 WIB

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) bersama dua mitra kerjanya, yaitu Taiyuan Iron & Steel Co Ltd dan Shandong Xinhai Technology Co Ltd akan membentuk perusahaan patungan untuk membangun fasilitas pengolahan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah.

Ketiga pihak sepakat Vale Indonesia akan memiliki 49% saham perusahaan patungan, sementara dua mitra lain, Taiyuan dan Shandong akan memiliki 51% saham perusahaan tersebut. Baik Vale Indonesia, Taiyuan maupun Shandong juga setuju untuk menyelesaikan semua persyaratan teknis dan finansial yang diperlukan untuk mengambil keputusan investasi final dalam jangka waktu enam bulan ke depan.

Hal itu disepakati dalam penandatanganan dokumen perjanjian kerangka kerja sama proyek untuk fasilitas pengolahan nikel Bahodopi pada akhir pekan lalu. Perjanjian ditandatangani oleh CEO Vale Indonesia Febriany Eddy  di Jakarta, sementara Presiden TISCO Wei Chengwen dan Ketua Xinhai Technology Wang Wenlong di Shanghai.

Dalam perjanjian kerangka kerja sama, ketiga pihak yang bermitra tak hanya sepakat membentuk perusahaan patungan, tetapi juga akan membangun delapan lini pengolahan feronikel rotary kiln-electric furnace beserta fasilitas pendukungnya. Berdasarkan perkiraan, lini pengolahan ini akan memproduksi sebesar 73.000 metrik ton nikel per tahun.

Seluruh pihak yang bermitra juga sepakat kebutuhan listrik akan bersumber dari pembangkit listrik tenaga gas untuk mendukung komitmen Vale Indonesia dalam mengurangi emisi karbon.

"Kami menghargai bahwa mitra kami telah mendukung agenda rendah karbon Vale dengan menyepakati perubahan rencana dari pembangkit listrik tenaga batu bara menjadi gas," ujar Febriany Eddy .

Dalam perkembangannya, pemerintah berencana membatasi pembangunan smelter nikel baru setelah 2024, terutama untuk smelter nikel kelas dua yang menghasilkan feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pun mendukung rencana ini. Pasalnya, berdasarkan data APNI, industri hilir khusus nikel yang akan dibangun, baik smelter pyrometallurgy dan hydrometallurgy, mencapai 98 perusahaan. Rinciannya yaitu 25 sudah berproduksi, 41 dalam tahap konstruksi, dan 32 masih memproses perizinan.

Dari data tersebut, kebutuhan bahan baku bijih nikel mencapai 255 juta ton per tahun. Sementara data cadangan terukur bijih nikel hanya 4,6 miliar ton. Dengan demikian industri hilir nikel diprediksi hanya bertahan maksimal 18 tahun.

Itu pun dengan kondisi bijih nikel kadar tinggi (di atas 1.6%) hanya 1,7 miliar ton. Sementara itu, jika industri pirometalurgi hanya menggunakan bijih nikel kadar tinggi maka umur pabrik ini hanya 7 tahun.

"Maka dengan ini APNI mendukung pemerintah untuk melakukan pembatasan smelter kelas 2 (NPI/FeNi)," kata APNI dalam keterangan tertulis, Senin (28/6).

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga 2024 sebanyak 53 smelter akan beroperasi, dengan 30 di antaranya merupakan smelter nikel. Rinciannya yaitu 13 smelter nikel yang sudah terbangun dan 17 lainnya masih dalam rencana.