Erick Thohir Curigai Ada Korupsi di Balik Utang Krakatau Steel Rp 31 T

Katadata
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
28/9/2021, 14.36 WIB

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mencurigai adanya indikasi korupsi di perusahaan pelat merah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Praktik tersebut dianggap menyebabkan perusahaan menanggung utang hingga US$ 2 miliar atau setara Rp 31 triliun (berdasarkan asumsi kurs yang dipakai Kementerian BUMN: Rp 15.500)

Erick mengatakan, salah satu proyek yang membuat utang produsen baja itu membengkak adalah blast furnace bernilai US$ 850 juta atau sekitar Rp 13,17 triliun.

"(Proyek) yang hari ini mangkrak. Ini kan hal-hal yang tidak bagus. Pasti ada indikasi korupsi, kami akan kejar siapapun yang merugikan," katanya dalam webinar virtual, Selasa (28/9).

Erick mengatakan, ada kesalahan dalam penegakan hukum terhadap proses bisnis, dan hal itu harus diperbaiki. "Kami tidak mau karena penugasan, ini banyak proyek mangkrak dan terjadi korupsi karena tanpa proses bisnis yang baik," katanya.

Menurut dia, terdapat dua langkah yang sedang dilakukan jajaran direksi Krakatau Steel untuk melakukan transformasi dan perbaikan model bisnis. Pertama, dengan membuat subholding untuk kawasan industri supaya kebutuhannya terintegrasi. Seperti integrasi penyedia air, listrik, maupun soal lahannya.

Subholding ini dikelola secara profesional dan akan didorong untuk melakukan penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) untuk mencicil utang induknya. "Akan go public (menjadi perusahaan terbuka) supaya ada funding (pendanaan) baru mencicil utang yang US$ 2 miliar tadi," ujar Erick.

Langkah kedua, melakukan negosiasi kepemilikan saham di perusahaan patungan PT Krakatau Posco. Saat ini, mayoritas sahamnya dimiliki perusahaan baja asal Korea Selatan POSCO sebesar 70%, sisanya Krakatau Steel.

Erick berharap kepemilikan saham Krakatau Steel di perusahaan patungan tersebut setidaknya bisa mencapai 50%, karena kerja sama keduanya dinilai sangat baik dalam tujuh tahun terakhir. Terlebih, sumbangan pendapatan bersih dari Krakatau Posco sangat positif. "Kemarin kami sudah negosiasi, sepertinya ada kesepakatan kami akan naik menjadi 50:50," katanya.

Erick mengatakan, sebenarnya POSCO berhak untuk tidak mengurangi porsi sahamnya, tapi pendekatan bisnis ke bisnis (B2B) yang dilakukan secara secara profesional membuat POSCO membuka peluang penurunan porsi saham tersebut.

"Apalagi Presiden Joko Widodo baru saja meresmikan pabrik Krakatau Steel di Cilegon, Banten. Ini membuat timbul kepercayaan mitra kami, karena di industri baja ini impornya masih banyak," ujar Erick.

Untuk itu, Erick ingin menjaga rantai suplai agar mampu mengurangi impor dengan memberikan produk berkualitas dan dengan harga yang kompetitif.

Hingga Agustus 2021, Krakatau Steel mencatatkan tren peningkatan kinerja dengan laba bersih Rp 800 miliar. Sejak 2020, perusahaan milik pemerintah ini membukukan laba setelah mengalami kerugian selama delapan tahun.

"Perolehan laba bersih ini meningkat 54% dibanding periode yang sama 2020 sebesar Rp 362,5 miliar,” kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam siaran pers, Jumat (24/9).

Pendapatan perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) Krakatau Steel hingga Agustus 2021 tercatat Rp 1,6 triliun atau naik 2,2 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 696 miliar.

Selain itu, produktivitas Krakatau Steel meningkat hingga Agustus 2021. Penjualan mencapai 1,27 juta ton atau naik 31% dibandingkan periode sama tahun lalu. Produksi bahkan naik 45% menjadi sebanyak 1,307 juta ton.

Krakatau mengembangkan beberapa strategi untuk menggenjot penjualan, di antaranya mengejar pasar ekspor, mengembangkan program digitalisasi, hingga menguatkan strategi hilirisasi.

"Strategi pengembangan usaha melalui pembentukan subholding, optimalisasi kinerja, operational excellence, serta melanjutkan program transformasi dan efisiensi juga merupakan kunci dari pencapaian kinerja positif kami,” ujar Silmy.

Reporter: Ihya Ulum Aldin