Indikator yang bisa digunakan investor dalam menilai sebuah perusahaan adalah batas laba alias profit margin yang terdapat dalam laporan keuangan. Profit margin akan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membuat laba. Semakin tinggi nilai profit margin, maka semakin banyak uang yang diterima perusahaan per penjualan.
Dari profit margin tersebut, bisa juga diketahui rasio batas laba bruto atau gross profit margin dan batas laba bersih alias net profit margin.
Melansir laman Investopedia, batas laba bruto adalah proporsi uang yang tersisa dari pendapatan setelah memperhitungkan harga pokok penjualan atau HPP. Di mana, nilai HPP diperoleh dari akumulasi biaya bahan baku produk serta biaya di luar produk seperti biaya sewa, gaji karyawan, dan ekspedisi.
Adapun cara untuk menghitung HPP, yakni dengan membagi total laba bruto dengan total penjualan atau pendapatan.
Sementara itu, batas laba bersih adalah persentase pendapatan bersih yang dihasilkan perusahaan dari pendapatannya. Untuk menghitung batas laba bersih dalam laporan keuangan, cukup membagikan total laba bersih dengan total penjualan atau pendapatan.
Adapun rumus menghitung total laba bersih di laporan keuangan, yakni laba bruto dikurang dengan HPP. Perbedaan yang ada di antara kedua rasio laba tersebut, terletak pada letak HPP dalam perhitungan. Oleh karena itu, batas laba kotor menghitung pendapatan absolut di luar biaya produksi.
Di sisi lain, perhitungan batas laba bersih juga akan menjadi pertimbangan investor karena meningkatnya pendapatan tidak selalu berarti ada peningkatan laba. Harus ada biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memproduksi suatu barang.
Contoh Batas Laba Bruto dan Bersih
Perhitungan batas laba bruto dan bersih akan berbeda dari satu industri dengan industri lainnya. Maka sebagai contoh, akan dilakukan perbandingan batas laba bruto dan bersih dari dua perusahaan di satu bidang yang sama. Kedua perusahaan itu adalah Goodyear Indonesia (GDYR) dan Gajah Tunggal (GJTL) yang sama-sama memproduksi ban.
Dalam laporan keuangan yang berakhir pada 31 Desember 2021, jumlah laba bruto GDYR sebesar US$ 13,9 juta atau Rp 194,6 miliar, sementara laba bersih sebesar US$ 2,4 juta atau setara Rp 33,6 miliar. Untuk menghitung batas laba bruto dan bersih, pembaginya adalah total penjualan dan pendapatan usaha sebesar US$ 150,2 juta atau setara Rp 2,1 triliun (kurs Rp 14.000).
Sementara itu, jumlah laba bruto pada laporan keuangan GJTL sebesar Rp 2,12 triliun, laba bersih sebesar Rp 79,89 miliar. Sepanjang 2021, GJTL berhasil memperoleh penjualan dan pendapatan usaha sebesar Rp 15,34 triliun.
Sesuai rumus yang sudah dijabarkan, untuk menghitung batas laba bruto, cukup membagikan laba bruto dengan total pendapatan sementara batas laba bersih membagikan laba bersih dengan total pendapatan. Untuk mengubahnya menjadi persentase, maka dikali dengan 100 %.
Dari perhitungan tersebut diperoleh batas laba bruto GDYR 2021 sebesar 9,3 % dan batas laba bersih sebesar 1,6 %. Di sisi lain, batas laba bruto GJTL sebesar 13,8 % dan batas laba bersih perusahaan tersebut sebesar 0,5 %.