Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana menjalankan sejumlah agenda pada tahun 2023. Salah satunya mendorong BUMN untuk melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO).

Dalam waktu dekat, Pertamina Geothermal Energy (PGE) diproyeksikan bisa menyelesaikan proses IPO pada akhir Februari tahun ini. Hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury saat melakukan rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI pada Senin (13/2).

Di Tanah Air, aksi korporasi IPO sudah terlebih dahulu dilakukan oleh sejumlah BUMN, antara lain BRI, BNI, Bank Mandiri, Bukit Asam, dan Aneka Tambang. Dikutip dari Investor.id, pengamat pasar modal Irwan Ariston Napitupulu mengatakan, banyak BUMN yang sukses setelah menjadi perusahaan terbuka.

“BUMN tersebut bagus-bagus. Laporan keuangan bagus, kinerja meningkat,” ujarnya, beberapa waktu yang lalu di tengah rencana IPO PGE.

Apabila harga yang ditawarkan menarik maka investor akan berlomba untuk membeli saham. Dana yang diperoleh nantinya dapat digunakan untuk modal dan investasi. Selain itu, dengan adanya IPO, transparansi perusahaan bisa ditingkatkan.

“Kalau sudah go public, akan terpantau sehingga lebih profesional. Itu yang membuat kinerja (perusahaan) meningkat dan mudah-mudahan lebih efisien,” katanya.

Menurut laporan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), kegiatan IPO BUMN di sejumlah negara seperti Prancis, Jepang, India, dan Denmark ditujukan untuk meningkatkan performa perusahaan.

IPO perusahaan-perusahaan milik negara dilatarbelakangi berbagai tujuan, mulai dari peningkatan keuntungan, adaptasi dengan persaingan pasar, peningkatan efisiensi, hingga penyelarasan prioritas BUMN dengan kepentingan nasional.

IPO PGE Hal yang Positif

Dalam keterangan tertulis, Pakar Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) ‎Mudrajad Kuncoro menilai upaya IPO yang dilakukan PGE merupakan sesuatu yang positif. Ini dikarenakan kondisi keuangan PGE yang baik.

Menurut catatannya, PGE meraih laba sebesar US$111,43 juta atau setara Rp1,6 6 triliun hingga kuartal III 2022. Angka tersebut naik dari sebelumnya yakni US$66,4 juta. Sedangkan ‎pendapatan usaha tercatat US$287,39 (setara Rp4,3 triliun), aset perusahaan US$2,44 miliar (setara Rp36,6 triliun), liabilitas Rp16,9 triliun, dan ekuitas Rp19,6 triliun.

Mudrajad menilai, upaya IPO PGE juga tidak bisa dilihat sebagai privatisasi BUMN. Sebab, porsi saham yang ditawarkan kepada publik hanya 25 persen dan mayoritas saham masih dimiliki Pertamina.‎ “Kalau masih di bawah minor 50% itu enggak masalah.‎ Yang penting nanti target keuntungannya pasca-IPO itu berapa, lalu setor ke negara itu berapa,” katanya.

Anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade memastikan DPR tetap melakukan pengawasan terhadap proses IPO PGE. Melalui pengawasan tersebut, diharapkan proses berjalan sebagaimana mestinya, termasuk proporsi saham yang dilepas kepada publik.

Di sisi lain, dengan keterbukaan, PGE dapat memperoleh valuasi yang akan berdampak pada kinerja perusahaan. Hal ini tentu positif dalam rangka meningkatkan daya saing perusahaan serta pertumbuhan PGE dan seluruh karyawan.

“IPO juga bisa membuat growth bagi PGE dan meningkat daya saing perusahaan,” katanya.

Apalagi, pengembangan sumber energi bersih sedang digalakkan pemerintah. PGE diproyeksikan untuk merealisasikan potensi panas bumi sebesar 24 GW (GigaWatt) di mana saat ini potensi panas bumi yang dapat dimaksimalkan baru mencapai 2,4 GW.

Panas bumi merupakan salah satu energi terbarukan yang bersifat base load sehingga apabila dapat dimanfaatkan dengan baik maka bisa membantu upaya pemerintah untuk mencapai net zero emission pada 2060. Selain itu, optimalisasi potensi panas bumi juga dapat mewujudkan ketahanan energi serta harga listrik yang lebih kompetitif.