PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) atau BRI telah menyiapkan beberapa strategi untuk menghindari efek samping berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19. Salah satu strategi BRI ini adalah dengan mengalokasikan biaya untuk pencadangan.
Direktur Utama BRI Sunarso mengungkapkan saat ini perbankan menghadapi banyak tantangan, misalnya meningkatnya rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL).
"Yang paling penting, kami menyiapkan segala macam bantalan, terutama mengalokasikan biaya untuk pencadangan," kata Sunarso dalam konferensi pers, Kamis (25/7).
Sunarso juga merespons aspirasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai perpanjangan restrkturisasi kredit Covid-19 hingga 2025. Ia menyatakan BRI siap jika memang restrukturisasi kredit Covid-19 bakal diperpanjang.
"Tidak diperpanjang pun BRI menyiapkan cadangannya apabila terjadi pemburukan kualitas kredit, terutama di segmen UMKM," tuturnya.
Penyaluran kredit BRI untuk segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mencapai Rp 1.095,64 triliun per 30 Juni 2024. Porsi kredit UMKM terhadap total kredit BRI mencapai 81,96%.
Menunggu Keputusan OJK
BRI saat ini menunggu keputusan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai usulan perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19 yang disampaikan Presiden Jokowi.
Untuk diketahui, BRI mencatat peningkatan biaya pemupukan pencadangan yang mencapai Rp 21,4 triliun. Menurut kinerja perseroan, total biaya pencadangan atau cadangan kerugian nilai aset kredit yang dimiliki BRI hanya naik dari Rp 81 triliun menjadi Rp 82 triliun.
Hal ini menyebabkan laba bersih BRI pada semester pertama tahun ini hanya naik tipis 0,95% menjadi Rp 29,7 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross naik dari 2,95% menjadi 3,05% secara konsolidasian atau dari 3,1% menjadi 3,2% untuk entitas BRI saja. BRI mencatat rasio pencadangan atau NPL coverage mencapai 211,6%.