Salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dan tiga anak usahanya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang (PN Semarang), Jawa Tengah. Perusahaan yang sempat dibanggakan oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau Jokowi itu resmi bangkrut.
“Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya,” tulis petitum, dikutip melalui lama sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Semarang, Kamis (24/10).
Selain dinyatakan bangkrut, Sritex juga terancam didepak atau delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal itu lantaran sahamnya telah disuspensi lebih dari 30 bulan. Perusahaan juga terlilit Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan laporan keuangan terakhir menunjukkan ekuitas negatif.
Lalu, siapakah sosok dibalik berdirinya perusahaan tekstil terbesar di Indonesia itu?
Berdasarkan laman resmi, Sritex didirikan pada 1966. Dalam bukunya Local Champion, Hermawan Kartajaya dan Ardhi menjelaskan bahwa Sritex berawal dari sebuah kios di Pasar Klewer, Kota Solo, Jawa Tengah, yang dibuka oleh HM Lukminto dengan nama UD Sri Redjeki. Berkat kepemimpinan HM Lukminto, UD Sri Redjeki berkembang menjadi perusahaan terbatas (PT) yang dikenal sebagai Sritex.
Setelah HM Lukminto wafat pada 2014, anak sulungnya yang bernama Iwan Setiawan Lukminto melanjutkan kegiatan usaha. Adapun Sritex resmi terdaftar sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2013 dengan kode emiten SRIL
Mengutip profil Iwan Setiawan Lukminto dalam website Forbes, Iwan melanjutkan bisnis keluarga usai menyelesaikan pendidikan program Sarjana di Business Administration dari Suffolk University, USA pada tahun 1997. Baru kemudian jabatannya naik sebagai Direktur Utama dari tahun 2006-2023.
Selanjutnya tahta kepemipinan perusahaan diserahkan pada sang adik yaitu Iwan Kurniawan Lukminto. pada 2023. Kemudian Iwan Setiawan naik menjadi Komisaris Utama.
Iwan Setiawan Lukminto, sempat menyelamatkan keuangan Sritex pada masa pandemi COVID-19 di 2020 dengan mengalihkan kegiatan produksi pakaian militer ke produksi masker dan pakaian pelindung medis di 2020.
Menurut informasi dari Forbes, Iwan Setiawan juga pernah masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2020, dengan estimasi kekayaan mencapai USD 515 juta setara dengan sekitar Rp7,725 triliun, berdasarkan kurs Rp15.000 per USD.
Berikut susunan direksi dan komisaris PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL):
Direktur Utama: Iwan Kurniawan Lukminto
Direktur Operasional: Mira Christina Setiady
Direktur Keuangan: Welly Salam
Direktur Independen: Regina Lestari Busono
Direktur Umum: Supartodi
Direktur Bisnis Benang: Karunakaran Rama Moorthy
Direktur Bisnis Kain: Sandeep Kr Gautam
Direktur Bisnis Garmen: Teo Khek Thuan
Kisah Sritex
Delapan tahun silam, Sritex menuai pujian dari Presiden Joko Widodo. Ia bangga, Sritex sebagai merek Indonesia mampu merajai pasar dunia. Namun, kondisi pabrik tekstil ini kini nyaris bangkrut. Sritex didirikan oleh Luminto pada 196 sebagai perusahaan perdagangan di Pasar Klewer Solo dengan nama “UD Sri Redjeki”.
Pada 1968, UD Sri Redjeki mendirikan sebuah pabrik yang memproduksi kain mentah dan bahan putihan di Joyosuran, Solo. Badan hukum UD Sri Redjeki kemudian diubah menjadi PT Sri Rejeki Isman pada 1978. Pada 1982, perusahaan ini mendirikan pabrik penenunan pertamanya. Perusahaan terus berkembang hingga dipercaya memproduksi seragam militer untuk pasukan militer NATO dan Jerman pada 1984.
Sritex semakin memperluas usaha pabriknya pada 1992 sehingga dapat menampung empat lini produksi sekaligus, yakni pemintalan, penenunan, penyelesaian, dan garmen. Usaha perusahaan ini terus berkembang hingga melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2013.
Masa Jaya Sritex: Ekspor Seragam Militer untuk 30 Negara
Perusahaan ini pun terus berekspansi hingga menuai pujian dari Jokowi yang hadir saat peresmian perluasan pabrik mereka pada 2017 di Sukoharjo, Jawa Tengah.
"Kita lihat Sritex, satu bukti brand Indonesia yang merajai pasar dunia," kata Jokowi.
Sritex saat itu baru saja berinvestasi Rp 2,6 triliun untuk pabrik. Mereka kala itu telah memproduksi seragam militer untuk setidaknya 30 negara di dunia. Dari jumlah itu, delapan dari negara-negara tersebut adalah negara di kawasan Eropa. Sritex bahkan memproduksi seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO.
Tidak hanya itu, Sritex juga merupakan satu-satunya pemegang lisensi di Asia yang berhak memproduksi seragam militer Jerman. Pada masa jayanya itu, Sritex pun berhasil membukukan laba bersih mencapai US$ 68 juta atau setara Rp 936 miliar. Setahun setelahnya atau pada 2018 Labanya bahkan melesat setahun setelahnya atau pada 2018 menjadi US$ 84,56 juta. Perusahaan pun masih mencetak kenaikan laba pada 2019 menjadi US$ 87 juta.
Kinerja Sritex melemah pada 2020 saat ekonomi ikut dihantam pandemi Covid-19 tetapi masih mampu mencetak laba US$ 85,32 juta. Neraca keuangan Sritex memburuk sejak 2021 dengan kerugian mencapai US$ 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun rupiah (asumsi kurs Rp 14.500/US$).