Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan keperkasaan rupiah tak akan merugikan eksportir. Adapun nilai tukar mata uang Garuda dalam sepekan terakhir terus menguat hingga ke level Rp 13.600 per dolar Amerika Serikat (AS).
"Meski (ekspor) harganya kalau dikonversikan ke rupiah mungkin lebih rendah, tapi karena permintaannya naik harganya juga naik," kata Perry dalam Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Kamis (23/1).
Sebaliknya, dia meyakini penguatan rupiah sangat baik bagi ekspor komoditas. Hal ini karena harga akan naik seiring dengan naiknya permintaan. Sementara itu, sektor manufaktur juga akan terbantu dengan penguatan rupiah karena sektor ini membutuhkan impor dalam proses produksinya.
"Penguatan rupiah juga sangat mendorong investasi dalam negeri. Sehingga secara keseluruhan memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi," kata dia.
(Baca: BI Tahan Bunga Acuan, Rupiah Menguat ke Rp 13.639 per Dolar AS)
Hingga Rabu 22 Januari 2020, rupiah telah menguat 1,74% secara point to point dibandingkan dengan level akhir Desember 2019. Adapun sepanjang 2019 rupiah menguat 3,58%, menjadikannya salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di dunia.
Perry menjelaskan penguatan nilai rupiah ditopang oleh pasokan valas dari aktivitas ekspor, serta aliran masuk modal asing yang tetap berlanjut sejalan prospek ekonomi Indonesia yang tetap terjaga.
BI mencatat aliran masuk investasi portofolio asing neto ke pasar keuangan domestik pada triwulan IV 2019 mencapai US$ 6,36 miliar, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang hanya US$ 4,88 miliar.
Selain itu, dia meyakini daya tarik pasar keuangan domestik yang kuat dan ketidakpastian pasar keuangan global yang mereda turut menguatkan rupiah. "Perbaikan ekonomi global terutama didukung oleh perkiraan pertumbuhan di sejumlah negara berkembang yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya," ujarnya.
(Baca: Jokowi Minta Waspadai Rupiah Kuat, BI Anggap Masih Sesuai Fundamental)
BI mencatat, beberapa indikator dini global terkait indeks manufaktur, indeks pemesanan ekspor, indeks produksi, dan indeks keyakinan membaik dalam dua bulan terakhir 2019. Kebijakan stimulus yang ditempuh berbagai negara serta optimisme pasca kesepakatan dagang tahap I AS dan Tiongkok turut berkontribusi meningkatkan kepastian ekonomi global.
Perkembangan tersebut mendukung pertumbuhan ekonomi negara maju seperti AS, Jepang, dan kawasan Eropa, sejalan dengan langkah-langkah kebijakan yang ditempuh oleh otoritas di masing-masing negara tersebut.
Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang juga berpotensi lebih tinggi, termasuk di Tiongkok, India, dan Brazil, meskipun masih terdapat sejumlah permasalahan domestik di negara tersebut yang tengah diatasi otoritas negara masing-masing.
(Baca: Pemerintah Pastikan Kurs Rupiah Tak Akan Dibiarkan Menguat Cepat)