Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penurunan drastis impor nonmigas dari Hong Kong. Impor dari Hong Kong tercatat 234,87 juta pada Oktober 2019, turun US$ 84,3 juta atau 26,4% dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 319,18 juta.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan penurunan impor tersebut imbas demonstrasi yang berkepanjangan di Hong Kong. "Mereka sudah enam bulan demo jadi ada penurunan," kata dia dalam Konferensi Pers di Kantornya, Jakarta, Jumat (15/11).
Penurunan impor dari Hong Kong terjadi atas seluruh komoditas nonmigas dari sepuluh kode harmonized system (HS) dua digit. Penurunan terbesar terjadi pada komoditas kain rajutan. Impor komoditas ini turun 92,44% secara bulanan.
(Baca: Ekspor Membaik, Neraca Perdagangan Oktober Surplus US$ 161 Juta)
Selanjutnya, impor kapas turun 92,33%, plastik dan barang dari plastik 91,57%, kertas dan karton 90,29%, kain tenunan khusus 90,08%, mesin-mesin atau pesawat mekanik turun 89,72%, berbagai barang buatan pabrik 89,05%, besi dan baja 82,5%, mesin atau peralatan listrik 82,39%, serta perhiasan atau permata 68,13%. Impor barang lainnya juga turun 91,36%.
Berbanding terbalik, nilai ekspor Indonesia ke Hong Kong justru meningkat. Nilai ekspor pada Oktober tercatat sebesar US$ 172,9 juta, naik 8,42% dibandingkan bulan sebelumnya. Komoditas yang diekspor seluruhnya merupakan komoditas non-migas.
Komoditas ekspor ke Hong Kong yang mengalami kenaikan terbesar yakni batu bara dengan kenaikan 83,73% secara bulanan. Disusul kamera digital 57,06%, bongkahan emas 25,98%, sarang burung 7,12%, perak 3,65%, baterai 2,12%, dan rokok tembakau 0,44%.
Sedangkan ekspor komoditas seperti perhiasan logam, telepon genggam, tantalum, perangkat semi konduktor lainnya, mesin adaptor, kabel konektor, dan manggis tercatat turun.
(Baca: Wabah Resesi Ancam Ekonomi Global)
Demonstrasi besar-besaran terjadi di Hong Kong dalam beberapa bulan ini. Para pengunjuk rasa marah lantaran memandang Tiongkok banyak melakukan intervensi pada pemerintah Hong Kong. Wilayah ini sebelumnya merupakan koloni Inggris yang kembali ke Tiongkok pada 1997.
Kembalinya Hong Kong ke Tiongkok dengan perjanjian satu negara dua sistem. Ini untuk menjamin kebebasan yang selama ini tak berlaku di daratan Tiongkok. Beijing membantah ikut campur urusan Hong Kong dan menuduh pemerintah asing, termasuk AS dan Inggris yang menimbulkan masalah di wilayah itu.
Seiring perkembangan tersebut, perekonomian Hong Kong pun masuk dalam jurang resesi. Ekonomi Hong Kong pada kuartal III 2019 turun 3,2% dibandingkan kuartal sebelumnya. Pemerintah Hong Kong pesimistis dapat mencatatkan pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Saat ini, Hong Kong termasuk dalam 10 negara atau wilayah yang melakukan penanaman modal terbesar di Indonesia, meskipun investasinya tercatat menurun. Pada kuartal III 2019, investasi Hong Kong mencapai US$ 400 juta, turun 25,6% dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 537,94 juta.