YLKI: Iuran BPJS Kesehatan Naik Bisa Berdampak Negatif bagi Perusahaan

Arief Kamaludin I Katadata
Ilustrasi, suasana Sistem pembayaran iuran BPJS Kesehatan disebut dengan Payment Point Online Bank (PPOB) di Jakarta, Jumat, (02/10). YLKI menilai, kenaikan iuran bisa berdampak negatif terhadap BPJS Kesehatan.
30/10/2019, 19.53 WIB

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) khawatir, keputusan pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan bisa berdampak negatif bagi perusahaan. Sebab, YLKI menilai langkah ini bersifat kontra produktif.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi memperkirakan, kenaikan iuran ini bisa mendorong peserta untuk menurunkan kelas layanan. Selain itu, tunggakan iuran bakal meningkat dan lebih masif. Apalagi, peserta mandiri yang belum membayar iuran sekitar 46% saat ini.

“Kebijakan ini bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJS Kesehatan itu sendiri," kata dia dalam keterangan resmi, Rabu (30/10). Ia khawatir, kedua hal ini bisa menggerogoti keuangan BPJS Kesehatan secara keseluruhan.

Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah dan BPJS Kesehatan melakukan beberapa langkah strategis sebelum menaikkan iuran. Ia mencontohkan, cleansing data golongan peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Sebab, ia curiga ada banyak peserta yang mampu secara finansial namun termasuk PBI BPJS Kesehatan. Biasanya hal itu terjadi karena yang bersangkutan merupakan orang dekat pengurus RT/RW setempat.

(Baca: Masyarakat Tanggapi Beragam Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

Jika cleansing data dilakukan secara efektif, menurutnya peserta golongan mandiri kelas 3 bisa langsung dimasukkan menjadi peserta PBI. "Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri kelas 3 sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran," kata dia.

Langkah selanjutnya yakni mendorong agar semua perusahaan menjadi anggota BPJS Kesehatan melakukan audit. Hal ini mengidentifikasi perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan BPJS Kesehatan.

Sebab, berdasarkan informasi yang ia terima, perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai anggota BPJS Kesehatan lebih banyak ketimbang yang sudah menjadi anggota.

Kemudian, ia menyarankan agar pemerintah mengalokasikan kenaikan cukai rokok secara langsung untuk BPJS Kesehatan. Dalam hal ini, pemerintah telah menaikkan cukai rokok 25%.

(Baca: Jokowi Resmi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Ini Rincian Tarifnya)

Jika ketiga hal itu dilakukan, menurutnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara ekstrim ini tidak perlu dilakukan. "Atau setidaknya tidak perlu naik sampai 100%," kata Tulus.

Namun, pemerintah kadung mengeluarkan kebijakan terkait kenaikan iuran. Karena itu, YLKI meminta pemerintah dan managemen BPJS Kesehatan untuk menjamin pelayanan yang lebih prima dan handal.

Ia berharap, tidak ada lagi diskriminasi pelayanan terhadap pasien anggota BPJS Kesehatan dan yang bukan. Tulus juga meminta supaya tidak ada lagi fasilitas kesehatan (faskes) rujukan yang menerapkan uang muka untuk pasien opname. 

YLKI juga mendesak pihak faskes, khususnya rujukan untuk meningkatkan pelayanan dengan cara melakukan inovasi pelayanan di semua lini. "Baik layanan di IGD, poli klinik dan instalasi farmasi," kata dia.

Adapun kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2 naik dua kali lipat dari Rp 80 ribu dan Rp 55 ribu menjadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu. Sedangkan untuk peserta kelas 3, naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.

(Baca: Dampak Iuran BPJS Naik, LPEM UI: Banyak Peserta Berpotensi Turun Kelas)

Reporter: Agatha Olivia Victoria