Mata uang Asia termasuk rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal pekan ini. Penguatan seiring dolar Amerika Serikat (AS) yang melemah di tengah berkembangnya ekspektasi pasar bahwa bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), bakal kembali memberi sinyal penghentian sementara kenaikan bunga acuan usai rapat kebijakan akhir Januari ini.  

Rupiah tercatat menguat 0,33% ke posisi Rp 14.046 pada perdagangan di pasar spot, Senin (28/1) siang ini. Penguatan ini merupakan yang terbesar ketiga di Asia, setelah won Korea Selatan dan ringgit Malaysia yang menguat masing-masing 0,56% dan 0,39%. Mata uang Asia lainnya juga menguat, seperti Yuan Tiongkok dan peso Filipina masing-masing 0,26%, dolar Taiwan 0,23%, dolar Singapura 0,13%, baht Thailand 0,19%, serta yen Jepang dan rupee India masing-masing 0,13%.

Sementara itu, dolar AS terpantau mengalami pelemahan terhadap mata uang utama dunia lainnya. Ini tercermin dari indeks DXY yang kembali turun ke level 95, setelah sempat kembali berada di kisaran 96 pada pekan lalu. Secara khusus, euro tercatat menguat menjadi 1,14 per dolar AS, dari sebelumnya turun ke posisi 1,14 per dolar AS.

(Baca: Dana Asing Masuk Rp 19 T di Januari, Penguatan Rupiah Terbesar se-Asia)

Adapun The Fed akan menggelar rapat pada 29-20 Januari mendatang untuk menentukan kebijakan bunga acuannya. Pada Desember 2018 lalu, para petinggi The Fed memproyeksikan kenaikan bunga acuan sebanyak dua kali lagi tahun ini. Meskipun, sebagian pelaku pasar memproyeksikan kenaikan lebih sedikit bahkan tanpa kenaikan. Ini seiring dengan tanda-tanda pelemahan ekonomi di As maupun global.

Beberapa petinggi The Fed juga sempat memberikan sinyal tentang perlunya penghentian sementara kenaikan bunga The Fed untuk memastikan kondisi ekonomi. Tahun lalu, bunga acuan The Fed tercatat naik empat kali hingga berada pada rentang 2,25-2,5%.

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan proyeksi kenaikan bunga The Fed yang tidak seagresif tahun lalu ditambah meredanya tensi perang dagang AS-Tiongkok telah memicu kembali mengalirkan dana asing ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini tercermin dari nilai tukar mata uang yang cenderung menguat terhadap dolar AS.

(Baca: BI Siap Rilis Aturan tentang Rekening Khusus Devisa Hasil Ekspor SDA)

BI pun memutuskan untuk menahan bunga acuannya pada pertengahan Januari ini dan menyatakan bahwa tingkat bunga acuan nyaris mencapai puncaknya. Stabilisasi nilai tukar rupiah tetap dilakukan melalui strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas baik di pasar rupiah maupun valas. Ke depan, BI optimistis nilai tukar rupiah akan stabil bahkan cenderung menguat.

Di sisi lain, Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra memperkirakan nilai tukar rupiah akan mengalami tekanan setelah triwulan I. Prediksi dia, rupiah bisa menyentuh level 13.800 per dolar AS pada triwulan I 2019. Namun, rupiah secara perlahan akan bergerak ke arah 14.000 per dolar AS hingga mencapai Rp 14.600 per dolar AS.

(Baca: Stanchart Prediksi Tekanan ke Kurs Rupiah Menguat Setelah Triwulan I)

Pelemahan terjadi seiring berlanjutnya kenaikan bunga acuan AS, meskipun tak seagresif tahun lalu. Selain itu, proyeksi pelemahan rupiah juga dengan mempertimbangkan faktor domestik, yaitu defisit transaksi berjalan.

Aldian memperkirakan defisit mencapai 2,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun kondisi defisit menunjukkan bahwa pasokan dolar dari ekspor barang dan jasa tak mampu menutup kebutuhan dolar untuk impornya. Maka itu, ini bisa menekan nilai tukar rupiah dan memberikan sentimen negatif terhadap aset keuangan dalam rupiah.

Reporter: Rizky Alika