Pemerintah berencana menekan defisit dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 menjadi kurang dari 2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Persentase tersebut turun dari realisasi tahun 2017 yang sebesar 2,46% dan target 2018 sebesar 2,19%.
Ekonom Institute National Development and Financial (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan ada dua opsi untuk menekan defisit ke bawah 2% terhadap PDB, yaitu memperketat belanja dan mendorong penerimaan pajak. Adapun kedua opsi tersebut bakal berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi.
Menurut prediksinya, pertumbuhan ekonomi kemungkinan hanya akan mencapai 5,1% jika pemerintah memutuskan memperketat belanja. “Kalau 2019 target defisitnya sama (dengan tahun ini) misalnya 5,4%, kelihatannya hanya tercapai 5,1%,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (10/4). (Baca juga: BI: Perang Dagang AS-Tiongkok Bisa Koreksi Pertumbuhan Ekonomi)
Ia menjelaskan, meskipun kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi hanya 9,1%, namun pengetatan belanja pemerintah memiliki efek lanjutan ke sektor lain. Sebagai contoh, jika belanja yang dipangkas adalah belanja infrastruktur, maka kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait bisa terpengaruh, begitu juga dengan industri besi baja dan semen. Selain itu, bisa berdampak pula pada turunnya penyerapan tenaga kerja konstruksi.
Di sisi lain, jika yang dipangkas adalah belanja operasional seperti terjadi pada 2016-2017, maka bakal ada dampaknya ke konsumsi rumah tangga yang merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi. “Apalagi kalau belanja perlindungan sosial, nanti angka kemiskinannya bisa naik. Jadi ada tradeoff yang harus diperhatikan pemerintah,” ucapnya.
Maka itu, ia menekankan, jika akan melakukan pengetatan belanja, maka pos yang diperketat harus dipilih dengan hati-hati.
Sementara itu, ia menduga pemerintah akan menghindari opsi pengurangan defisit dengan mendorong penerimaan pajak. Sebab, kebijakan tersebut bisa memicu kekhawatiran dunia usaha. Selain itu, bisa mengganggu tingkat elektabilitas Presiden Joko Widodo saat Pemilu nanti.
“Tahun ini target penerimaan pajak naik 20% dari realisasi 2017. Pengusaha langsung bereaksi dengan menunda ekspansi. Jadi opsi kurangi defisit dengan genjot pajak sepertinya bakal dihindari apalagi ada Pilpres. Nanti elektabilitasnya bisa drop,” katanya. (Baca juga:Pengusaha Resah Target Pajak Naik 24%, Sri Mulyani Siapkan Strategi)
Mengutip dari laman Sekretariat Kabinet, defisit dalam RAPBN 2019 ditargetkan kurang dari 2% terhadap PDB, dengan asumsi PDB di atas Rp 16.000 triliun. Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/4) lalu.
Menurut dia, pemerintah akan berusaha untuk mendesain RAPBN 2019 yang tetap memberikan stimulus dan dukungan terhadap perekonomian dan perbaikan sosial, namun tidak menciptakan beban yang terlalu besar sehingga menimbulkan pengaruh terhadap persepsi maupun kredibilitas dari APBN.
Secara rinci, pada 2019, penerimaan negara akan ditarget naik antara 7,6-13%. Sementara belanja pemerintah pusat akan naik sekitar 7,3% dan transfer ke daerah termasuk untuk Dana Desa akan dirancang naik sekitar 8,3%.
“Kami akan membelanjakan lebih dari Rp 823 triliun kalau tidak salah untuk kementerian/lembaga (K/L). Di mana untuk program-program yang disebut prioritas oleh Bapak Presiden pendidikan, kesehatan, vokasi kemudian untuk sosial kita akan fokuskan,” kata Sri Mulyani.