Arus keluar dana asing membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan. Berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI), kurs telah melemah 3,6% dari level terkuatnya tahun ini yaitu Rp 13.290 menjadi Rp 13.774 per dolar AS pada 8 Januari 2018. Beberapa waktu lalu, kurs rupiah bahkan sempat menembus level 13.800 per dolar AS di pasar spot.
Kepala Ekonom Bank Central Asial (BCA) David Sumual berpendapat banyaknya investor asing yang melepas kepemilikannya di Surat Utang Negara (SUN) dan obligasi menjadi salah satu penyebab pelemahan kurs rupiah. “Banyak penggeraknya dari nonresident pemegang SUN dan obligasi. Kalau resident normal, (kebutuhan dolar) untuk keperluan impor, investasi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (8/3).
(Baca juga: BI Jaga Rupiah, Cadangan Devisa Februari Anjlok Hampir US$ 4 Miliar)
Pergerakan keluar dana asing terpantau dari data kepemilikan SUN yang dilansir Kementerian Keuangan. Investor asing tercatat memegang Rp 880,20 triliun atau 41,1% dari total outstanding SUN pada 23 Januari 2018. Kepemilikan tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang tahun ini. Namun, pada 5 Maret 2018, jumlahnya telah menyusut menjadi Rp 836,94 triliun atau 39,05% dari total outstanding SUN. Ini artinya, ada penurunan Rp 43,26 triliun.
Di sisi lain, arus keluar dana asing juga terjadi di pasar saham. Saat berita ini ditulis, berdasarkan data RTI, investor asing membukukan penjualan bersih sepanjang tahun ini telah mencapai Rp 12,78 triliun di keseluruhan pasar, dan RP 14,04 triliun di pasar reguler. Adapun secara harian, penjualan bersih paling besar terjadi pada 7 Maret 2018 yaitu menembus Rp 1 triliun.
(Baca juga: Banjir Sentimen Negatif, Investor Asing Jual Bersih Saham Rp 1 Triliun)
“(Penyebab arus keluar dana asing) sentimen AS, bahwa Fed Fund Rate (bunga dana bank sentral AS) akan naik empat kali tahun ini, spekulasi pasar,” kata David. Spekulasi seputar kenaikan agresif bunga dana AS merupakan pemicu utama gejolak di pasar keuangan mulai akhir Januari 2018 lalu hingga saat ini.
Dengan kondisi seperti sekarang, intervensi BI menjadi satu-satunya solusi jangka pendek untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. “Tidak banyak tools,” kata dia. Meski begitu, ia melihat ada beberapa solusi jangka menengah-panjang yang bisa diupayakan untuk membantu stabilisasi kurs.
Pertama, menambah Bilateral Swap Agreement dengan negara mitra lainnya untuk memperbesar bantalan cadangan devisa. Kesepakatan bisa saja diupayakan secara langsung dengan AS. Kedua, kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional dengan negara mitra. Ketiga, reformasi struktural untuk mendorong industri manufaktur sehingga ekspor meningkat.
Di luar itu, ia menyebut perlunya perluasan instrumen lindung nilai (hedging) valuta asing (valas). Tujuannya, agar eksportir tertarik untuk menempatkan valasnya di dalam negeri. “Instrumen hedging untuk jangka panjang belum ada. Yang ada baru jangka pendek, satu bulan, tiga bulan,” kata dia.
Ke depan, ia pun menilai BI harus lebih berhati-hati dalam menentukan saat terbaik untuk menyesuaikan bunga acuan. “Mungkin kalau melihat dolar mengetat, BI bisa memberikan sinyal kenaikan bunga acuan,” kata dia. Tujuannya, agar tidak terlanjur terjadi gejolak nilai tukar rupiah yang membuat Bi jadi harus menaikkan bunga acuan lebih tinggi.
Adapun menurut pendapatnya, level moderat rupiah ada di kisaran 13.500-13.600 per dolar AS. “Kalau kebablasan terus ke atas sektor riil terpukul, maka itu BI coba stabilisasi,” ucapnya. Sepanjang Februari 2018 lalu, cadangan devisa tercatat turun nyaris US$ 4 miliar, lantaran terpakai utamanya untuk kebutuhan stabilisasi kurs rupiah.