Nilai tukar rupiah sempat melemah hingga nyaris menembus Rp 13.600 per dolar Amerika Serikat (AS) dalam perdagangan beberapa hari ini. Namun, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo meyakini fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat sehingga bisa menahan pelemahan lebih lanjut.

"Semester II ini perbaikan ekonomi nasional, dengan kondisi seperti itu (nilai tukar rupiah) akan kembali ke situasi yang lebih baik. Tidak dalam kondisi yang lemah. (Pelemahan nilai tukar rupiah) kami yakini sementara," kata dia usai Rapat Kerja (Raker) dengan Badan Anggaran (Banggar) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (4/10).

Ia menjelaskan, fundamental ekonomi yang kuat tercermin dari inflasi yang terkendali, hanya 0,13% secara bulanan (month month/mtm) per September lalu. Adapun secara tahunan (year on year/yoy), inflasi tercatat sebesar 3,72% atau dalam rentang target yaitu 3-5%. (Baca juga: Pengusaha Harap Rupiah Tak Anjlok Melebihi 13.500 per Dolar AS)

Selain itu, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang masih mencatatkan surplus, dengan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) yang membaik. Investor asing pun diklaim masih tetap masuk (capital inflow) ke Indonesia, sehingga cadangan devisa masih dalam tren peningkatan. (Baca juga: Asing Keluar, Investor Lokal Dukung IHSG Cetak Rekor Baru Lagi)

Mengacu pada data Bloomberg, pelemahan nilai tukar rupiah telah mereda. Hingga pukul 14.00 WIB, nilai tukar rupiah tercatat menguat 0,43% ke level Rp 13.484 per dolar AS. Penguatan juga dialami mayoritas mata uang Asia lainnya. Won Korea terpantau menguat paling besar yaitu 0,62%, diikuti rupiah 0,43%, dan peso Filipina 0,30%.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menjelaskan, terdapat tiga faktor utama yang menekan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS. Pertama, rencana penurunan pajak di AS. Pelaku pasar memprediksi ekonomi AS bakal tumbuh lebih cepat jika rencana tersebut direalisasikan. Alhasil, bunga dana AS bisa naik lebih cepat.

Kedua, pernyataan Gubernur bank sentral AS Janet Yellen bahwa kenaikan suku bunga The Fed pada Desember nanti kemungkinan akan lebih tinggi. Padahal, sebelumnya pasar masih belum percaya AS akan kembali menaikan bunga dananya.

Ketiga, adanya sepkulasi mengenai pergantian Gubernur bank sentral AS pada awal 2018 mendatang. Alhasil, arah kebijakan moneter AS bisa berubah. "Hal-hal seperti ini yang oleh pasar keuangan dijadikan topik 10 hari terakhir. Tapi pada akhirnya (nilai tukar) akan kembali ke fundamental masing-masing," kata dia.