Pemerintah berencana untuk menaikkan kembali cukai rokok tahun depan. Namun, kenaikan cukai kerap diisukan bakal memicu inflasi, meningkatkan peredaran rokok ilegal, hingga menambah angka pengangguran. Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany pun menepis semua isu tersebut.
“Kenaikan tarif cukai itu mendorong inflasi, kemiskinan, dan menurunkan jumlah pekerja itu semua hoax,” kata Hasbullah dalam diskusi bertajuk 'Harga Rokok Naik: Hoax vs Fakta di Kafe Bakoel Coffee, Jakarta, Jumat (25/8). (Baca juga: Penerimaan Cukai Ditarget Rp 155 Triliun, Cukai Rokok Naik di 2018)
Secara khusus soal isu penurunan jumlah pekerja, ia menjelaskan, industri rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) merupakan yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Namun, ia menduga banyak pelaku industri tersebut yang sudah beralih memproduksi Sigaret Kretek Mesin (SKM). Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama penurunan jumlah pekerja di industri rokok.
Dugaan itu mengacu pada data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang menyatakan bahwa pangsa pasar SKM terus meningkat dari 62% pada 2010, menjadi 73,4% pada 2015. Sebaliknya, pangsa SKT justru turun dari 31,8% menjadi 21%. Di sisi lain, jumlah pekerja di industri tembakau tercatat menurun. Pada 2010, tenaga kerja industri tembakau mencapai 327,9 ribu, lalu berkurang menjadi hanya 281,6 ribu pada 2012 .
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo melontarkan kritikan soal tarif cukai untuk SKM golongan II yang dinilainya terlalu rendah. Produsen SKM golongan II memiliki batas maksimal produksi yaitu 3 miliar batang rokok. Ia memaparkan, SKM golongan II bisa meraup omzet Rp 2,5 triliun. Sementara cukai SKM-nya hanya sebesar Rp 335 dan Rp 365 per batang.
Menurut dia, seharusnya tarif cukai yang jauh lebih murah diberikan kepada pelaku industri rokok UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang beromzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun, serta pelaku industri SKT yang menyerap banyak tenaga kerja.
Menurut perhitungannya, kebijakan cukai saat ini merugikan negara hingga setengah triliunan per pabrikan per tahun. Produksi 2 miliar batang per tahun tarifnya sebesar Rp 530 per batang, maka penerimaan negara sebesar Rp 1,59 triliun. Namun jika produksinya naik menjadi 3 miliar batang per tahun, tarifnya turun menjadi Rp 365 per batang, maka penerimaan negara hanya Rp 1,09 triliun. "Negara dirugikan Rp 495 miliar per pabrikan," kata dia.