Konsumsi Masyarakat Tertahan, Laju Ekonomi Diprediksi Maksimal 5,05%

ANTARA FOTO/FB Anggoro
Senior GM CSR PT Hero Supermarket Tbk Natalia Lusnita (kanan) membantu kasir memasukan barang belanja konsumen ke tas daur ulang di Giant Ekstra di Kota Pekanbaru, Riau, Sabtu (10/12).
25/8/2017, 14.03 WIB

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2% tahun ini. Namun, Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistyaningsih pesimistis target tersebut bakal tercapai. Sebab, ada indikasi melambatnya permintaan dari masyarakat.

"Ekonomi di tahun 2017 ini diperkirakan tumbuh di sekitar 5-5,05%," kata Lana saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (25/8). Pada semester I lalu, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,01%.

Lana menjelaskan, inflasi baru mencapai 2,6% di periode Januari-Juni 2017. Ia pun menduga, rendahnya inflasi lebih disebabkan oleh penurunan permintaan daripada peningkatan pasokan. Dugaan itu diperkuat dengan data pertumbuhan produksi dalam negeri yang juga melambat.

"Ada indikasi produksi dalam negeri melambat khususnya di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang hanya tumbuh 3,33% year on year (secara tahunan) pada kuartal II dari 7,12% year on year pada kuartal I 2017," ujarnya.

Adapun turunnya permintaan kemungkinan disebabkan oleh pendapatan rill masyarakat yang menurun. Pendapatan riil menurun lantaran kenaikan pendapatan di bawah angka inflasi.  Menurut Lana, turunnya pendapatan riil terdeteksi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai penurunan jam kerja dan banyaknya angkatan kerja yang bekerja di sektor informal.

"Jumlah pekerja informal di sektor transportasi meningkat, dugaannya banyak yang beralih menjadi driver (pengemudi) ojek online. Ini kan membuat pendapatan tidak pasti," ujarnya. Ketidakpastian pendapatan ini membuat masyarakat memilih melakukan konsumsi prioritas. (Baca juga: Ramainya Pesta Diskon Nike dan Mitos Pelemahan Daya Beli)

Lebih jauh, Lana mengatakan, perlambatan konsumsi rumah tangga bakal berdampak ke penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Adapun, secara umum, perlambatan pertumbuhan ekonomi berisiko membuat target penerimaan negara meleset. Bila hal itu terjadi, maka akan mengurangi kemampuan pemerintah untuk belanja dan mendorong perekonomian.

Di samping permintaan rumah tangga, menurut Lana, rendahnya penyaluran kredit perbankan juga turut menahan laju pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kredit per Juni 2017 hanya mencapai 7,8%, melambat jika dibandingkan Juni 2016 yang sebesar 8,6%.

Adapun penurunan bunga acuan atau BI 7 Days Repo Rate dinilainya menunjukkan sinyal berlanjutnya perlambatan pertumbuhan kredit. Namun, menurut Lana, penurunan bunga acuan ersebut belum cukup. Setidaknya diperlukan penurunan 1-2 kali lagi untuk memberi dampak signifikan pada penyaluran kredit.

Lana menambahkan, pertumbuhan ekonomi tahun ini juga tertahan oleh lemahnya permintaan global terhadap energi dan komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Hanya terdapat beberapa komoditas yang mengalami kenaikan seperti batu bara dan tembaga. Sedangkan, minyak sawit belum menunjukkan kenaikan yang berlanjut.

Dengan kondisi tersebut, Lana mengatakan, ekspor masih belum bisa menjadi penopang perekonomian. "Dengan kendala ini tentunya akan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%,” ucapnya.