Pemerintah Diminta Waspadai Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat

ANTARA FOTO/R Rekotomo
Wisatawan domestik berfoto di lokasi wisata Bukit "Love" Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Rabu (5/4).
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yuliawati
14/8/2017, 18.09 WIB

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal kedua 2017 sebesar 4,95% dianggap tak mencerminkan penurunan daya beli masyarakat.  Pemerintah diminta mewaspadai perubahan pola konsumsi yang cenderung ke arah konsumerisme atau membeli barang yang tak benar-benar dibutuhkan. 

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, isu penurunan daya beli ini tidak tercerminkan dari pendapatan penjualan yang meningkat dari perusahaan retail seperti Alfamart dan Indomaret.  "Saya tidak tau bagaimana ini bisa dikatakan bahwa ada penurunan daya beli," ujar Tito dalam acara diskusi bertema 'Anjloknya Daya Beli Masyarakat', di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Senin (14/8).

Tito mengatakan saat ini terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat yang mengarah ke gaya hidup konsumerisme. Dia mengatakan masyarakat kini lebih banyak yang memilih makan di restoran cepat saji dibanding dengan makanan tradisional.

(Baca: Darmin Sebut Tren Konsumsi Berubah Kini Masyarakat Lebih Suka Rekreasi)

Tito mengkhawatirkan perubahan pola konsumsi konsumerisme tersebut mengurangi geliat perekonomian di daerah tingkat II seperti kabupaten atau pun desa. Dia khawatir pendapatan hanya akan berputar di perkotaan dan tak sampai ke tingkat pedesaan.

Dia berharap pemerintah turun tangan atas perubahan pola konsumsi tersebut. "Mencegah konsumerisme inilah di mana negara harus hadir," kata Tito.

Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Firman Mochtar mengatakan masyarakat saat ini kerap memilih konsumsi untuk pergi berlibur dan makan di berbagai restoran. Selain itu, masyarakat juga banyak mengeluarkan dananya ke sektor teknologi dan informasi. Sehingga, angka-angka di sektor tersebut masih mengalami peningkatan. Akibatnya, perubahan gaya hidup ini menunjukan daya beli masyarakat yang tidak mengalami penurunan.

"Selain itu, ada informasi yang belum tertangkap dari perilaku konsumsi di sektor e-commerce," ujar Firman.  (Baca: Pemerintah Bakal Genjot Belanja untuk Kejar Pertumbuhan Ekonomi 5,2%)

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, konsumsi rumah tangga pada triwulan II-2017 tumbuh 4,95% year on year (yoy). Angka ini juga tumbuh jika dibandingkan dengan konsumsi triwulan I-2017 sebesar 4,94%. Namun, mengalami sedikit perlambatan jika dibandingkan Triwulan II-2016 sebesar 5,07%.  "Saya bilang ini (konsumsi rumah tangga) masih kuat dan tidak ada indikasi penurunan daya beli," ujarnya.

Suhariyanto menyebut menurut Bank Dunia (World Bank) masyarakat Indonesia terbagi menjadi 3 kelas yakni 40% terbawah, 40% menengah, dan 20% teratas.

Dia mengatakan masyarakat menengah dan atas cenderung menahan konsumsinya, tetapi tidak mengalami penurunan daya beli. Apalagi, terdapat pengalihan pola konsumsi ke belanja online.

Namun, dirinya tidak memungkiri adanya penekanan pendapatan di beberapa masyarakat 40% terbawah. BPS mencatat, upah petani memang mengalami kenaikan dalam jumlah nominal. Namun, secara rill nya mengalami penurunan.

Suhariyanto menjelaskan, kenaikan jumlah upah petani dan upah buruh bangunan tidak mampu mengkompensasi kenaikan inflasi. Dengan demikian, ada beberapa sektor yang memang mengalami perlambatan konsumsi tapi secara keseluruhan tidak bisa disebut sebagai penurunan daya beli.