Tekanan global terhadap perekonomian Indonesia menguat pasca kenaikan tingkat bunga dana bank sentral Amerika Serikat (AS), Fed Fund Rate. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak mengkhawatirkan risiko tersebut karena menilai Indonesia memiliki pondasi ekonomi yang kuat, yaitu pertumbuhan ekonomi tinggi.
Ia menekankan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,04 persen tergolong tinggi di antara negara-negara yang ekonominya tengah berkembang (emerging market). "Indonesia membedakan diri dari kelompok emerging market dengan mengatakan growth yang cukup tinggi," kata Sri Mulyani dalam seminar Outlook Ekonomi 2017 di Jakarta, Kamis (15/12).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga didukung oleh rendahnya defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) di kisaran dua persen dan inflasi sekitar tiga persen. Adapun, defisit anggaran terjaga di level 2,5-2,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini. Komposisi utang pemerintah juga dipastikan masih aman (prudent).
Untuk mengantisipasi besarnya gejolak di akhir tahun, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah sudah menerbitkan obligasi global sebesar US$ 3,5 miliar. Penerbitan obligasi tersebut mendapat sambutan positif dari pelaku pasar. Hal itu terlihat dari imbal hasil (yield) yang menarik. Dolar dari hasil penerbitan obligasi tersebut bakal memperkuat cadangan devisa di akhir tahun ini.
"Kalau akhir tahun, Indonesia menutup APBN dengan defisit anggaran 2,5-2,7 persen, estimasi pertumbuhan 5 persen tahun ini, cadangan devisa (cadev) meningkat," katanya. (Baca juga: Pemerintah Jual Obligasi US$ 3,5 Miliar untuk Belanja Awal 2017)
Sri Mulyani pun meyakini, tekanan global saat ini tak akan sebesar 2013 silam saat The Fed mulai mengurangi stimulus moneternya. Sebab, kebijakan The Fed sudah bisa diprediksi pelaku pasar.
The Fed diperkirakan akan menaikkan Fed Fund Rate dua kali tahun depan dan tiga kali di 2018. "Saat ini sudah dicerna oleh banyak sekali para pelaku pasar dunia dan mereka yang punya kapital," katanya. (Baca juga: Tax Amnesty Bisa Meredam Keluarnya Dana Asing dari Indonesia)
Sekadar informasi, Federal Open Market Committee (FOMC) memutuskan menaikkan Fed Fund Rate sebesar 0,25 persen ke rentang 0,5 – 0,75 persen, pada Rabu (14/12). The Fed memprediksi, bakal ada kenaikan bunga tersebut sebanyak tiga kali tahun depan. Meski begitu, sejumlah pelaku pasar melihat kemungkinan kenaikannya cuma dua kali tahun depan.
Meski pondasi ekonomi Indonesia kuat, indeks lokal dan kurs rupiah tak luput dari tekanan imbas kenaikan Fed Fund rate. Pada perdagangan Kamis ini, Indeks Harga Saham Gabungan ditutup melemah 0,16 persen ke level 5.254. Pelemahan juga dialami sejumlah indeks bursa saham di negara Asia.
(Baca juga: BPS Taksir Pelemahan Rupiah Sejak November Akan Berlanjut)
Indeks Hang Seng di Hong Kong turun 1,77 persen, Straight Times Indeks STI turun 0,79 persen, Shanghai SE Composite di Cina melemah 0,73 persen, FTSE Bursa Malaysia KLCI turun 0,38 persen, dan indeks Kospi di Korea turun tipis 0,01 persen.
Kurs mata uang Asia juga melemah serentak. Bahkan, pelemahan rupiah termasuk yang terbesar. Pelemahan mata uang Asia dipimpin yen Jepang yang merosot 1,11 persen, lalu won Korea 0,72 persen, dan rupiah 0,68 persen ke level 13.383 per dolar AS.
Pelemahan yang cukup besar juga dialami dolar Taiwan sebesar 0,53 persen, real India 0,59 persen, yuan Cina 0,44 persen, dan ringgit Malaysia 0,44 persen. Selain itu, bath Thailand melemah 0,37 persen, peso Filipina 0,18 persen, dolar Singapura 0,17 persen, dan dolar Hong Kong 0,02 persen.