Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 5-5,4 persen. Perkiraan ini lebih rendah dibandingkan taksiran awal sekitar 5,1-5,5 persen. Penyebabnya, perdagangan dunia diperkirakan masih akan lambat dan ditambah lagi oleh kebijakan proteksionis presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo mengatakan, pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini lebih rendah dibanding 2015. Bahkan, pertumbuhan perdagangannya lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi dunia. Karena itu, ia memperkirakan rendahnya permintaan global masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Padahal, komoditas andalan Indonesia mulai menunjukan kenaikan harga. Harga komoditas semula diperkirakan turun 4,4 persen, tetapi hingga saat ini harganya sudah naik 3,2 persen. Bahkan, BI memperkirakan harganya akan meningkat menjadi 6,9 persen tahun depan. (Baca: ASEAN Siapkan Penyangga Ekonomi Hadapi Guncangan Efek Trump)
“Tetapi kami juga cermati penurunan perdagangan dunia secara tajam. Tentu ini juga kami antisipasi,” kata Agus di Jakarta, Kamis (17/11) malam.
Selain itu, rencana kebijakan Trump yang proteksionis terhadap perdagangan diperkirakan juga akan menekan ekspor Indonesia. Meski porsi ekspor ke Amerika hanya 10-11 persen, Indonesia tetap terkena dampak tidak langsung dari mitra dagang utamanya yaitu Cina. Sebab, ekspor Cina ke AS cukup besar.
Di sisi lain, BI melihat kondisi di dalam negeri lebih baik. Investasi diperkirakan akan meningkat pada akhir kuartal II. Peningkatan investasi itu terutama pada sektor pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan.
Pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diperkirakan sebesar lima persen, diyakini akan berdampak pada tahun depan. “Pertumbuhan kredit itu yang relatif baru betul-betul siap recover (pulih) itu di akhir kuartal II (2017),” ujar Agus. (Baca: Dua Pemicu Anjloknya Rupiah, BI Kritik Para Analis)
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan tiga persoalan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi tahun depan lebih rendah. Pertama, pertumbuhan ekonomi global yang semula diperkirakan 3,4 persen ternyata kemungkinan hanya menjadi 3,2 persen.
Kedua, pemangkasan pengeluaran pemerintah tahun ini mengurangi potensi pertumbuhan pada tahun depan. Ketiga, pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan masih rendah tahun depan. (Baca: Belanja Rumah Tangga Topang Ekonomi Kuartal III Tumbuh 5,02 Persen)
Perry menilai kredit bermasalah yang meningkat belakangan ini menyebabkan keterbatasan bank untuk menyalurkan kredit. Rasio kredit bermasalah (Non Performin Loan/NPL) gross saat ini sebesar 3,2 persen dan nett sebesar 1,4 persen.
Namun, dia memperkirakan, rasio NPL saat ini sudah mencapai titik tertingginya sehingga selanjutnya akan menurun. Dengan begitu, penyaluran kredit bisa tumbuh mulai Juni 2017. “Awalnya kami perkirakan kredit bisa tumbuh 12-14 persen (tahun depan), tetapi kajian terakhir hanya 11-12 persen,” kata Perry.