Efek Brexit Lebih Memukul Rupiah ketimbang Perdagangan

Donang Wahyu|KATADATA
23/6/2016, 19.42 WIB

Dalam beberapa jam ke depan, hasil referendum yang diikuti masyarakat Inggris untuk menentukan keberadaan negaranya di Uni Eropa, akan segera diketahui. Jika lebih banyak masyarakat yang memilih Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa atau kerap disebut "Brexit" (Britain Exit), maka keputusan itu akan berdampak pula terhadap perekonomian Indonesia.  

Ekonom BCA David Sumual menilai, dampak Brexit secara langsung terhadap kurs nilai tukar (hard currency). Menurut dia, keputusan Brexit akan memicu investor mengalihkan dananya ke aset berkategori aman atau safe haven. Yaitu emas, yen Jepang, serta dolar Amerika Serikat (AS). Selain itu,  obligasi negara maju juga menjadi incaran para investor untuk mengamankan asetnya.

Kondisi tersebut akan menyebabkan mata uang dolar AS semakin perkasa. "Yang menjadi kekhawatiran adalah menguatnya dolar, yang akan berimbas pada aset di negara berkembang," kata David kepada Katadata, Kamis (23/6). Alhasil, mata uang rupiah akan cenderung melemah. (Baca: Jika Brexit Terjadi, Inggris Sulit Tembus Pasar Asia

Namun, pada penutupan perdagangan di pasar spot, Kamis ini, rupiah masih menguat terhadap dolar AS. Rupiah bertengger di posisi 13.248 per dolar AS, atau menguat 0,3 persen dibandingkan hari sebelumnya. Bank Indonesia (BI) juga mencatat, rupiah berdasarkan kurs tengah JISDOR hari ini sebesar 13.265 per dolar AS, atau menguat dibandingkan hari sebelumnya sebesar 13.298 per dolar AS. 

Menurut David, dampak Brexit terhadap pasar finansial lebih dirasakan Indonesia dibandingkan ke sektor perdagangan. Sebab, volume perdagangan antara Indonesia dengan Cina maupun Amerika Serikat lebih besar dibandingkan dengan Uni Eropa. Apalagi, kalau disandingkan dengan nilai perdagangan antara Indonesia dengan Inggris yang pasti lebih kecil.

“Kalau dalam hal perdagangan, yang akan lebih susah adalah negosiasi yang harus dilakukan lagi,” ujar David. (Baca: Cemaskan Risiko Brexit, Bank Sentral Amerika Tahan Suku Bunga)

Jika suara terbanyak menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa, negara tersebut diprediksi akan mengalami kesulitan untuk kembali menembus pasar Asia, termasuk ke Selandia Baru dan India. Negara dengan tingkat ekonomi terbesar kelima dunia ini dinilai kurang berpengalaman melakukan negosiasi.

Apalagi, mencari para negosiator bukanlah pekerjaan mudah. “Bayangkan jika Inggris harus menugaskan pejabat diplomatik maupun pegawai negerinya untuk bernegosiasi lebih dari satu atau dua perjanjian di waktu yang sama,” kata profesor bidang hukum Eropa dari University of Liverpool, Michael Dougan, seperti dilansir Bloomberg, Rabu (22/6).

Sementara itu, profesor dari Sidney University, Mark Melatos menjelaskan, posisi tawar Inggris akan sangat buruk karena negara tersebut sulit menembus kesepakatan baru. Akibatnya, semua mitra dagang potensial Inggris akan memanfaatkan kelemahan itu. (Baca: Pemerintah Siapkan Negosiasi Dagang dengan Uni Eropa)

Inggris yang mulai bergabung dengan Uni Eropa memiliki hubungan perdagangan yang sangat krusial dengan Asia. Kawasan ini berkontribusi terhadap dua per tiga pertumbuhan ekonomi global. Politikus Inggris Boris Johnson mengatakan jika lepas dari Uni Eropa, maka negaranya bisa bernegosiasi terhadap kesepakatan baru dengan lebih baik. Sementara itu, Asia bisa saja mengambil keuntungan dengan adanya pakta perdagangan yang baru.

Ada beberapa keuntungan yang akan dirasakan Inggris jika meninggalkan Uni Eropa. Salah satunya, negara tersebut tidak perlu berkonsultasi dengan 28 negara anggota Uni Eropa lainnya untuk mengambil keputusan tertentu. Hal ini disampaikan Kepala Kebijakan Eropa dan Perdagangan dari Institute of Directors di London, Allie Renison.