Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tahun ini bakal meningkat dibandingkan tahun lalu. Tren peningkatan tersebut diprediksi akan terus berlanjut pada kuartal II mendatang karena didukung investasi swasta dan konsumsi rumahtangga, serta reformasi fiskal.
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi Moneter BI Juda Agung menghitung, pertumbuhan ekonomi kuartal I bisa mencapai 5,1 hingga 5,2 persen. “Di atas 5,1 persen,” katanya seusai Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Gedung BI, Jakarta, Kamis (21/4). Perkiraan ini lebih tinggi dari pencapaian pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2015 yang sebesar 5,04 persen atau tercatat 4,79 persen sepanjang 2015.
Pendorong utama pertumbuhan ekonomi selama tiga bulan pertama tahun ini masih bersumber dari belanja pemerintah. Belanja modal dan belanja barang pada kuartal I melonjak masing-masing 161 persen dan 56 persen dibanding periode sama tahun lalu. Kendati investasi dari swasta masih stagnan, Juda yakin akan meningkat pada paruh kedua tahun ini. Sebab, pembangunan infrastruktur oleh pemerintah sejak kuartal III tahun lalu biasanya baru akan berdampak terhadap peningkatan investasi swasta lima kuartal setelahnya.
(Baca: IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Global, Indonesia Tak Ikut Terseret)
Dari sisi konsumsi juga mulai ada peningkatan. Indikasinya dari penjualan eceran dan kendaraan bermotor yang tumbuh positif. Selain itu, keyakinan konsumen terus membaik. Ekspor juga diprediksi membaik karena harga beberapa komoditas ekspor Indonesia, khususnya kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), karet, dan timah, mulai membaik.
“Kinerja ekspor beberapa komoditas juga mulai menunjukan perbaikan. Terutama tekstil, alat listrik, dan kendaraan untuk penumpang,” kata Juda. Karena itu, dia optimistis pertumbuhan ekonomi pada kuartal II nanti bisa mencapai 5,2-5,3 persen.
Di sisi lain, Juda optimistis penguatan rupiah 3,96 persen sejak awal tahun ke level Rp 13.260 per dolar Amerika Serikat (AS). Nilai tersebut masih sejalan dengan fundamental ekonomi. Meski begitu, dia yakin, penguatan ini tidak akan mempengaruhi daya saing ekspor Indonesia.
(Baca: Indonesia Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Asia)
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan pengeluaran pemerintah per Februari mencapai Rp 251,5 triliun atau 12 persen dari target Rp 2.095,7 triliun. Dari jumlah itu, belanja modal sudah melebihi Rp 5 triliun atau sekitar 2,5 persen dari rencana Rp 201,6 triliun.
Realisasi ini naik empat kali lipat dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 1,3 triliun. Di sisi lain, penerimaan negara baru Rp 164 triliun, atau sembilan persen dari nilai yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang sebesar Rp 1.822,5 triliun. Karena itulah, pemerintah percaya diri meskipun konsumsi bergerak stabil.
Sepanjang tahun ini, BI memperkirakan ada empat stimulus yang dapat mendongkrak pertumbuhan eknomi. Pertama, kebijakan pemerintah meluncurkan stimulus fiskal dengan anggaran yang lebih produktif. Kedua, reformasi struktural dengan menghilangkan subsidi harga Bahan Bakar Minyak. Ketiga, kebijakan makroprudensial Bank Indonesia, seperti pelonggaran perhitungan Giro Wajib Minimum-rasio tabungan terhadap pinjaman atau Loan to Deposit Ratio. Terakhir, kebijakan moneter oleh BI dengan menurunkan suku bunga acuan.
(Baca: Bank Dunia: Pertumbuhan Indonesia Tergantung Paket Ekonomi)
Meski begitu, BI memperkirakan masih ada tekanan dari global terhadap ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah perlambatan ekonomi Cina. Namun, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo yakin pemerintah Cina tidak akan membiarkan mata uangnya melemah lebih dalam dan akan mengarahkan ekonominya pada stabilitas. Di sisi lain, Indonesia bisa memanfaatkan perubahan arah ekonomi Cina dari investasi menjadi konsumsi. Caranya dengan menarik investasi asing langsung (FDI) dari Cina.