Keyakinan swasta terhadap perekonomian nampaknya masih rendah sejak pertengahan tahun lalu. Hal itu terlihat dari utang swasta yang cenderung menurun sejak Juni 2015. Aktivitas ekonomi di sektor riil pun belum bergerak.
Sebenarnya, Bank Indonesia mencatat utang luar negeri pada Februari 2016 tumbuh 3,7 persen dibanding bulan sebelumnya. Namun dari jumlah US$ 311,5 miliar, hanya utang pemerintah yang naik US$ 3,44 miliar. Sedangkan pinjaman swasta stagnan di kisaran US$ 164,6 miliar. Rupanya, tren utang swasta ini cenderung turun sejak Juni 2015 yang masih di posisi US$ 169,5 miliar.
Hanya sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan yang naik US$ 2,3 miliar. Sementara sektor lainnya cenderung stabil. Adapun dari sisi nilai, sektor industri pengolahan dan pertambangan masih cukup besar yakni US$ 24,3 miliar dan US$ 33,4 miliar. Sementara sektor listrik, gas, dan air utangnya mencapai US$ 23,3 miliar. Walau demikian, toal utangnya masih mendominasi keseluruhan pinjaman luar negeri nasional. (Baca juga: Pemerintah Akan Andalkan Dana Desa Bangun Infrastruktur).
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan kondisi ini menunjukan bahwa swasta masih menunggu dan melihat (wait and see) atas perekonomian. Mereka khawatir kenaikan utang untuk ekspansi tidak seirama dengan peningkatan permintaan. Kekhawatiran ini sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat penurunan impor barang modal dan bahan baku sejak tiga tahun lalu.
“Swasta ekspansi kan suplemennya dari modal disetor. Kalau ekonomi melambat, mereka khawatir kelebihan kapasitas. Makanya nggak mau ekspansi dengan utang. Apalagi sektor komoditas sudah over utang dan harga komoditas turun,” kata David kepada Katadata, Senin, 18 April 2016. (Baca: Genjot Laju Ekonomi, Pemerintah Didorong Perlebar Utang).
Menurut David, keyakinan swasta akan meningkat pada semester kedua nanti. Lokomotif utamanya berasal dari pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Karena itu wajar bila pemerintah menambah utang. Hal ini dapat menjadi penggerak swasta untuk ekspansi. Kondisi tersebut juga dialami banyak negara yang meningkatkan utang untuk menggerakan sektor riil seiring perlambatan ekonomi.
Apalagi, pemerintah masih memiliki ruang untuk menambah utang mengingat pinjaman pemerintah masih di bawah 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tetapi kenaikan utang ini harus dipastikan untuk belanja modal dan pembangunan infrastruktur. “Investasi asing mulai bergairah. Pemerintah ke Eropa banyak nota kesepahaman (MOU) baru. Dengan paket kebijakan ekonomi yang diimplementasikan, saya pikir akan membaik,” kata David.
Melihat perkembangan tersebut, Bank Indonesia memandang utang luar negeri pada Februari masih aman. Namun perlu diwaspadai risikonya terhadap perekonomian. Ke depan, bank sentral terus memantau perkembangan utang khususnya swasta untuk memberi keyakinan bahwa pinjaman bisa berperan optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko stabilitas makroekonomi. (Baca: Gubernur BI: Utang Luar Negeri Naik karena Ekonomi Menggeliat).