KATADATA - Dalam sepekan terakhir, dua lembaga pemeringkat internasional menilai positif kondisi perekonomian Indonesia di tengah ancaman perlambatan ekonomi dunia dan terus melorotnya harga komoditas. Penilaian tersebut menjadi dasar bagi lembaga rating mempertahankan peringkat layak investasi (investment grade) Indonesia, sehingga bisa mendapatkan pinjaman dengan bunga yang rendah.
Senin kemarin (1/2), lembaga pemeringkat asal Jepang, Japan Credit Rating Agency Ltd. (JCR), kembali mempertahankan peringkat utang luar negeri atau Sovereign Credit Rating Indonesia pada level investement grade, yaitu BBB- dengan prospek stabil. Peringkat yang sama disematkan pada dua surat utang yang diterbitkan pemerintah Indonesia berdenominasi yen Jepang. Yaitu surat utang senilai 22,5 miliar yen berjangka waktu tiga tahun dan bunga 1,08 persen; dan surat utang senilai 22,5 miliar yen berjangka lima tahun dan bunga 1,38 persen. Ini menegaskan peringkat yang telah diberikan JCR kepada Indonesia pada 22 Oktober 2014.
Setidaknya ada empat faktor kunci yang mendorong JCR mempertahankan peringkat layak investasi Indonesia. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang solid didukung oleh konsumsi domestik, defisit anggaran dan utang swasta yang terkendali, serta perbankan yang relatif sehat dan kuat terhadap guncangan eksternal. Meski di sisi lain, ketergantungan ekspor komoditas mentah masih tinggi di tengah rendahnya harga komoditas, perlambatan ekonomi Cina sebagai mkitra dagang utama Indonesia dan kenaikan suku bunga di Amerika Serikat.
(Baca: Dua Alasan Moody’s Pertahankan Peringkat Layak Investasi Indonesia)
Kedua, setelah perombakan kabinet (reshuffle) pada Agustus 2015, pemerintah meningkatkan penekanan pada kebijakan ekonomi melalui peluncuran sembilan paket kebijakan sejak September 2015 hingga pekan lalu. Paket itu mengusung semangat reformasi struktural dengan deregulasi dan pemangkasan prosedur administrasi; beragam insentif pajak; mempertahankan daya beli masyarakat dengan menurunkan harga energi; dan penguatan industri ekspor dan UKM.
Ketiga, kebijakan fiskal berupa pencabutan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) untuk menekan defisit anggaran dan memperbesar anggaran untuk infrastruktur. Kebijakan ini berdampak pada turunnya defisit anggaran menjadi di bawah 2 persen dari produk domestik bruto (PDB).
(Baca: Menguat 6 Persen, Rupiah Terbaik atas Mata Uang Utama Dunia)
Keempat, kebijakan moneter yang hati-hati untuk menyeimbangkan antara stabilitas makroekonomi dan kebutuhan membuka ruang pertumbuhan ekonomi. Pada Januari lalu, Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 7,25 persen untuk mendukung pertumbuhan bisnis.
Di sisi lain, JCR menilai prospek ekonomi Indonesia stabil dengan mengacu pada kemampuan menghadapi tekanan eksternal. Caranya melalui kombinasi kebijakan fiskal dan moneter, termasuk meluncurkan paket kebijakan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Meski begitu, JCR mewanti-wanti terhadap risiko arus keluar dana asing dari portofolio investasi akibat kebijakan penaikkan suku bunga AS dan penguatan dolar AS. “Aliran modal ke negara-negara pasar berkembang umumnya menunjukkan volatilitas yang tinggi setelah keputusan AS menaikkan suku bunga," kata Koichi Fujimoto, General Manager International Rating Department JCR, dalam siaran persnya, Senin (1/2).
(Baca: BI Perkirakan Rupiah Menguat Mulai Pertengahan 2016)
Menurut Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo, pengumuman JCR itu menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi perlambatan ekonomi dan volatilitas pasar keuangan global. “Di saat beberapa negara menghadapi penurunan peringkat, Indonesia justru mampu mempertahankan peringkat layak investasi,” katanya dalam siaran pers BI. Hal ini menunjukkan kebijakan yang dilakukan tepat untuk menjaga stabilitas sekaligus mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sebelumnya, pada Kamis pekan lalu (28/1), Moody’s Investors Service juga mempertahankan peringkat kredit Indonesia yaitu Baa3 dengan prospek stabil. Ini merupakan derajad (notch) terendah level investment grade yang sudah disematkan Moody’s sejak 18 Januari 2012. Vice President-Senior Analyst Sovereign Risk Group Moody's di Singapura, Christian de Guzman menyebut, dua faktor kunci yang mendasari penilaian tersebut. Pertama, kemampuan mengelola keuangan pemerintah yang kuat di tengah peningkatan defisit fiskal. Kedua, respons pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang efektif dalam mengelola risiko penurunan harga komoditas dan pelemahan pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu, menjamin keamanan posisi pembayaran utang luar negeri Indonesia dalam jangka panjang.
Selain dari Moody’s, Indonesia juga sudah menyandang peringkat layak investasi dari Fitch Ratings. Awal Januari 2012, lembaga pemeringkat internasional ini menyematkan peringkat BBB- dengan prospek stabil kepada Indonesia. Ini merupakan peringkat layak investasi pertama Indonesia dari Fitch dalam kurun 14 tahun terakhir.
Namun, hingga saat ini, Standard & Poor’s (S&P) masih menempatkan Indonesia di bawah level layak investasi dengan peringkat BB+. Pada Mei tahun lalu, lembaga pemeringkat ini sebenarnya telah mendongkrak prospek peringkat Indonesia dari "Stabil" menjadi "Positif". Dengan begitu, terbuka kemungkinan bagi S&P menaikkan peringkat tersebut ke level layak investasi dalam 12 bulan ke depan sejak Mei 2015.