Tahan BI Rate, BI Pilih Turunkan GWM untuk Memacu Kredit

KATADATA
Gubernur BI Agus Martowardojo
Penulis: Yura Syahrul
17/11/2015, 18.59 WIB

KATADATA - Genap 10 bulan lamanya, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga tinggi. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang berakhir Selasa sore (17/11), bank sentral memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI rate di level 7,5 persen, suku bunga Deposit Facility 5,50 persen dan Lending Facility 8 persen. Padahal, berbagai kalangan, termasuk pemerintah, meminta agar BI mau menurunkan suku bunga untuk membantu peningkatan daya beli masyarakat dan memacu pertumbuhan ekonomi.

BI menilai sebenarnya ada ruang pelonggaran kebijakan moneter seiring stabilitas kondisi makroekonomi yang semakin baik. Inflasi yang per Oktober 2015 secara

year to date sebesar 2,16 persen dan  6,25 persen secara tahunan (year to year), diperkirakan pada akhir tahun ini berada di batas bawah kisaran target 4 persen plus-minus satu persen. Sedangkan defisit transaksi berjalan yang per kuartal III sebesar 1,86 persen dari produk domestik bruto (PDB), diperkirakan bakal terjaga di kisaran 2 persen dari PDB pada akhir tahun ini.

Namun, BI melihat ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi, terutama kemungkinan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate). Selain itu, keberagaman kebijakan moneter yang ditempuh oleh bank sentral Eropa, Jepang, dan Cina. Karena itulah, BI memilih tetap berhati-hati dalam menempuh langkah pelonggaran kebijakan moneter dengan menahan suku bunga acuan.

Meski begitu, BI memutuskan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer dalam rupiah, dari sebelumnya 8 persen menjadi 7,5 persen. Sekadar informasi, GWM merupakan salah satu instrumen moneter BI untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat. GWM merupakan likuiditas wajib minimum bank yang wajib dijaga dan dipelihara oleh setiap bank. Tujuannya agar bank dapat memenuhi kewajibannya terhadap penarikan simpanan masyarakat sewaktu-waktu. Berdasarkan Surat Edaran BI No. 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015, BI menetapkan GWM Primer sebesar 8 persen dari dana pihak ketiga (DPK) dalam rupiah di perbankan.

Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, penurunan GWM Primer yang berlaku efektif 1 Desember mendatang itu merupakan cara pelonggaran kebijakan BI sekaligus tetap menjaga stabilitas moneter. Dengan begitu, perbankan bisa lebih leluasa mengucurkan kredit. "Perbankan akan mendapatkan tambahan kapasitas pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," katanya sesuai RDG BI di Jakarta, Selasa (17/11).

(Baca: Para Ekonom Meramal BI Belum Berani Turunkan Suku Bunga Acuan)

Di tempat yang sama, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menaksir, penurunan GWM Primer akan menambah kapasitas penyaluran kredit perbankan hingga Rp 18 triliun. Ia menambahkan, langkah itu merupakan bentuk pelonggaran moneter lantaran BI saat ini belum dapat menurunkan BI rate. "Untuk suku bunga, belum dapat kami turunkan karena terkendala ketidakpastian," katanya.

Sementara itu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan penurunan GWM Primer sebesar 0,5 persen akan berdampak terhadap penurunan bunga perbankan secara tidak langsung. Pasalnya, pelonggaran batasan GWM itu bisa mengganti sumber pendanaan dana mahal perbankan. Alhasil, secara tidak langsung perbankan dapat menurunkan bunga perbankan.

(Baca: Jusuf Kalla: Sebabkan Biaya Tinggi, BI Perlu Evaluasi Bunga BI Rate)

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap agar suku bunga perbankan diturunkan. Ia berpandangan suku bunga tinggi bertujuan menahan laju inflasi merupakan teori masa lampau yang saat ini sulit diterapkan. Sebaliknya, tingkat suku bunga yang tinggi saat ini justru mempengaruhi investasi sehingga harga barang semakin naik. Ujung-ujungnya inflasi akan meningkat. Karena itu, BI harus mengevaluasi tingkat suku bunga saat ini. "Bunga ini harus turun karena bagian dari high cost, kalau biaya kita turun maka inflasi juga pasti turun," katanya.

Ekonom Universitas Indonesia, Anton Gunawan, juga berharap bank sentral mau menurunkan suku bunga acuan. Menurut dia, kalau BI rate turun sekitar 25-50 basis poin maka akan dapat membangkitkan investasi meskipun pengaruh terhadap konsumsi rumahtangga belum langsung dirasakan. “Yang penting ekonominya, dalam negeri melambat sehingga harus di-support.”

Reporter: Ameidyo Daud Nasution