KATADATA ? Pembangunan jalan tol trans Sumatera di wilayah Provinsi Riau terkendala pembebasan lahan. Pengerjaan proyek di wilayah ini paling cepat baru bisa dimulai pada 2017.
Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hediyanto Husaini mengatakan, lambatnya pembangunan lantaran pemerintah daerah (pemda) belum melakukan penetapan lokasi (penlok) proyek yang berada di kawasan perkebunan.
Keterlambatan ini diperkirakan akibat belum selesainya penyusunan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) di provinsi itu. ?Kami cicil akhirnya (pembebasan lahan). Kami targetkan pada 2017 lahan baru bebas,? kata Hediyanto di kantornya, Jakarta, Rabu (23/5).
Proyek jalan tol di Provinsi Riau menghubungkan Pekanbaru-Kandis-Dumai sepanjang 189 kilometer (km). Dari ruas itu, Kementerian PUPR telah mendapatkan izin penlok di wilayah non-perkebunan sepanjang 20 km. Hediyanto mengatakan, pihaknya siap membayar ganti rugi lahan tersebut. ?Jadi yang telah ada kami kerjakan, tapi yang di wilayah perkebunan belum,? ujar dia.
Menurut dia, pemerintah telah berhati-hati untuk menetapkan lokasi ruas tol tersebut supaya tidak melewati wilayah hutan lindung, terutama untuk mencegah permasalahan RTRW. Makanya, dia heran apabila pembebasan lahan perkebunan ini malah berlarut-larut.
?Harusnya sih tidak ada masalah perkebunan, tapi saya pikir memang mereka (Riau) punya masalah pada RTRW secara keseluruhan,? katanya.
Kondisi ini berbeda dengan ruas trans-Sumatera lainnya seperti Bakauheni-Terbanggi Besar, Medan-Binjai, dan Palembang-Indralaya yang tidak mengalami masalah pembebasan lahan. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, ketiga ruas tersebut akan rampung pembebasan lahannya pada November mendatang. ?Untuk Palembang-Indralaya bahkan sudah beres lahannya,? kata dia.
Bukan kali ini saja permasalahan RTRW di Provinsi Riau menghambat pembangunan. Sebelum pembangunan trans-Sumatera, pemerintah telah mengalami kerugian akibat terhentinya produksi minyak di tiga area milik Chevron di provinsi tersebut, karena masalah RTRW.
Bahkan hingga 31 Mei lalu, kerugian akibat kehilangan produksi migas ini termasuk komponen cost recovery, seperti pengeluaran biaya tunggu rig dan biaya tunggu proyek, mencapai US$ 68 juta atau setara dengan Rp 904,4 miliar. Nilai kerugian pemerintah bakal terus bertambah besar karena hingga kini Chevron belum mengantongi izin operasi.