KATADATA ? Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) dalam rapat dewan gubernur yang akan berlangsung besok. Situasi perekonomian global dan indikator ekonomi domestik yang belum stabil membuat bank sentral berhati-hati mengeluarkan kebijakannya.
Dari sisi global, kata Gubernur BI Agus Martowardojo, bank sentral Amerika Serikat (AS), the Fed, belum menaikkan suku bunga. Hal ini menimbulkan ketidakpastian terhadap kondisi perekonomian global. Akibatnya, mata uang sejumlah negara mengalami gejolak terhadap dolar AS, termasuk rupiah.
BI pun memantau perkembangan yang terjadi di Yunani. Jika negara itu gagal bayar utang luar negerinya bisa berdampak terhadap pasar obligasi. Dilihat dari data Bloomberg, rata-rata imbal hasil (yield) surat utang pemerintah berjangka satu tahun yang sudah naik sekitar 13 persen sejak pertengahan April lalu dari 6,6 persen menjadi 7,4 persen.
?Di tengah situasi dunia dinamis saat ini dan ketakutan investor kalau di Yunani ada masalah dan nanti ada risiko, maka lebih baik keluar dulu. Maka ini harus direspons dengan kebijakan (yang tepat),? kata Agus usai pelantikan Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto di Jakarta, Rabu (17/6).
Perkembangan ekonomi dunia tersebut turut mempengaruhi Indonesia lantaran defisit neraca transaksi berjalan yang belum berada dalam posisi yang cukup aman. Ini mengingat selama ini defisit dibiayai oleh aliran dana dari luar negeri.
Sementara kinerja neraca perdagangan pun melempem. Meskipun surplus, neraca perdagangan tidak didorong oleh kinerja ekspor, melainkan karena impor yang turun lebih tajam. ?Jadi walau surplus tapi ada unsur yang perlu diwaspadai,? tutur dia.
Demikian pula dengan inflasi yang meningkat pada kuartal II ini. Kemudian siklus tahunan setiap Juni yakni meningkatnya kebutuhan valuta asing (valas) untuk pembayaran utang luar negeri dan dividen. Ini akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah.
?Maka kami mesti waspada dan hati-hati. (Pemerintah juga) fokus pada reformasi struktural dan kesehatan fiskal yakni disbursement (penyerapan) anggaran harus dipercepat,? tutur dia.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, pengaruh situasi global sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi harga komoditas yang masih belum membaik mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. ?Menurut saya faktor eksternalnya besar sekali. Memang bisa dibantu kalau pemerintah mempercerpat mencairkan anggaran,? tutur dia.
Melihat situasi perekonomian global dan domestik, sejumlah ekonom meminta BI mempertahankan kebijakan moneter ketat. Ekonom Standard Chartered Bank Eric Sugandi mengatakan, pelonggaran kebijakan moneter justru akan membahayakan stabilitas perekonomian.
Kebijakan moneter ketat, lanjut dia, memang akan menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Tapi secara umum, jika suku bunga diturunkan dikhawatirkan akan membuat kurs rupiah semakin lemah. Apalagi the Fed pun pasti akan menaikkan suku bunga.
?Pemerintah sebaiknya ikhlas perekonomian tidak tumbuh tinggi pada tahun ini,? kata Eric kepada Katadata.
Menurut dia, dalam dua tahun pertama, pemerintah sebaiknya fokus untuk melakukan konsolidasi, yakni dengan menjaga defisit neraca transaksi berjalan dan nilai tukar yang sesuai fundamental.
?Pasti akan terjadi (kenaikan Fed Rate). Cuma waktunya saja belum pasti. Makanya, BI Rate kami perkirakan masih 7,5 persen. Kalau Fed Rate naik malah BI Rate bisa naik 0,25 persen. September mungkin,? kata dia.
Daniel Wilson, ekonom untuk kawasan ASEAN dan Pasifik ANZ Research, berharap BI tetap mempertahankan kebijakannya. Terutama untuk mengantisipasi lonjakan inflasi dan kebijakan suku bunga the Fed.
Dalam pandangannya, upaya yang dilakukan BI untuk menjaga kondisi makroprudensial selama ini tidak dapat dihindari. Adapun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berada di tangan pemerintah, sebagai otoritas fiskal.