KATADATA ? Pembahasan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) sudah masuk dalam program legislasi nasional. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan pembahasan revisi UU Migas ini diharapkan bisa selesai tahun ini.
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri berharap revisi UU Migas yang baru nanti, harus memiliki umur yang panjang, sehingga tidak ada perlu lagi direvisi. Dengan begitu ada kepastian bagi dunia usaha.
"Jangan direvisi tiap 5 sampai 10 tahun. Undang-undang itu harus bisa menjawab tantangan sejauh mungkin," kata dia di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Selasa (26/5).
Dia mengatakan dalam menyampaikan RUU Migas yang baru ini setidaknya ada empat perubahan paradigma. Perubahan pertama adalah cara pandang migas sebagai komoditas menjadi ujung tombak pembangunan dan industrialisasi.
Kedua perubahan paradigma dari migas sebagai sumber penerimaan negara menjadi migas sebagai penggerak seluruh sektor sehingga menambah basis penerimaan pajak. Ketiga, perubahan paradigma migas, yang harus juga memikirkan kebutuhan untuk generasi mendatang. Keempat, perubahan paradigma dari migas sebagai sumber bancakan pemburu rente, menjadi migas yang mensejahterakan rakyat banyak.
Menurut dia, perubahan paradigma ini sangat penting, mengingat kondisi migas Indonesia sangat rentan. Rasio cadangan dibandingkan produksi akan habis dalam waktu 11,6 tahun. Volume penemuan cadangan baru juga masih kecil, hanya 17 juta barel. Jauh dibandingkan Malaysia yang mencapai 77 juta barel.
Di sisi lain, konsumsi migas dalam negeri terus meningkat. Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) memperkirakan konsumsi minyak pada 2050 mencapai 2,8 juta barel per hari. Diperkirakan konsumsi pada 2050 akan mencapai 2,8 juta barel per hari. Sedangkan produksi 2050 berdasarkan proyeksi SKK Migas tinggal 96.000 barel per hari.
"Kegiatan trading akan lebih dominan daripada kegiatan produksi," ujar dia.
Selain sektor hulu dia juga ingin UU Migas nantinya juga memperhatikan sektor hilir, termasuk pengolahan bahan bakar minyak (BBM). Formula harga BBM juga harus dipikirkan sebaik mungkin, agar bisa stabil dan memberikan kepastian usaha.
Mengenai wacana pembentukan aggregator atau badan penyangga migas, Faisal memiliki pandangan sendiri. Dia mengingatkan pemerintah agar aggregator tidak berubah menjadi predator. Menurut dia pembentukan agregator ini akan berhasil jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
"Kalau mau dihadirkan, jangan hanya produsen minyak. (Tapi) harus dimiliki oleh produsen dan konsumen, PLN, serta asosiasi industri," ujar dia.
Perbaikan Tata Kelola Migas
Revisi UU Migas diharapkan bisa memperbaiki tata kelola migas menjadi lebih baik. Koordinator Publish What You Pay Maryati Abdullah mengatakan revisi UU harus bisa untuk memperbaiki tata kelola migas. Selama ini dia menganggap, tata kelola migas di Indonesia masih belum bagus, sehingga dapat membuka celah pemburu rente yang berakibat adanya mafia migas.
Sebagai contoh adalah dalam proses pengadaan minyak mentah yang tidak transparan dan akuntabel. "Makanya ada temuan terkait kasus Rubi Rubiandini, TPPI. Itu karena tata kelola tidak transparan tidak ada akses publik," ujar dia.
Dia juga menginginkan agar pemerintah tidak lagi menganggap migas sebagai komoditas. Jika dianggap sebagai komoditas, konsekuensinya migas hanya akan terkuras dan dijual mentah-mentah. "Tidak memikirkan industri hilir yang bisa berkembang dari gas alam," ujar dia.
Kontrak Kerja sama Migas
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Redy mengingatkan aturan mengenai kontrak kerja sama migas dalam revisi UU Migas, harus melalui sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-X/2012.
Menurut dia kontrak tersebut harus dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik oleh PT Pertamina (Persero) atau BUMN Khusus yang akan dibuat. Ini penting untuk meminimalisasi risiko yang dihadapi pemerintah.
"Harus pemerintah yang memberikan izin ke BUMN atau beberapa BUMN. MK menurut putusannya memerintahkan konsep perizinan di tangan BUMN," ujar dia
Sistem kontrak kerja sama tidak tepat dengan menggunakan sistem konsensi. Karena hal ini akan memberikan peluang kepada pelaku usaha untuk memiliki apa yang ada di wilayah kerja yang didapat.
"Paling tepat, tetap PSC (kontrak bagi hasil) tapi juga memberikan izin. Izin ini dalam bentuk penguasaan negara," ujar dia.