KATADATA ? Indonesia tidak dapat menetapkan tarif pajak dengan mengacu pada tarif yang berlaku di negara lain. Kebijakan perpajakan mesti dilakukan secara komprehensif yang disesuaikan dengan jumlah penduduk dan target penerimaannya.
Pandangan ini disampaikan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dan pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan Roni Bako terkait pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Luhut B. Panjaitan mengenai penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) perusahaan dari 25 persen menjadi 17,5 persen-17,8 persen.
?Habis potensi pajak Indonesia, kalau perang tarif dengan Singapura. Lagipula, dia (Singapura) menawarkan financial secrecy (kerahasiaan keuangan) dan kemudahan bisnis,? kata Prastowo saat dihubungi Katadata, Selasa (19/5).
Luhut seperti diberitakan menyatakan Presiden Joko Widodo telah memerintahkan untuk menurunkan tarif PPh perusahaan supaya bisa bersaing dengan Singapura. Di negara tetangga itu, perusahaan dikenakan PPh sebesar 17 persen, yang dinilai dapat mencegah terjadinya praktik transfer pricing oleh perusahaan yang memiliki entitas di negara lain.
(Baca: Sofyan dan Bambang Beda Pandangan dengan Luhut Soal Pajak Perusahaan)
Menurut Prastowo, Indonesia tidak dapat bersaing dengan Singapura terkait perpajakan. Persoalannya, di negara tetangga itu penerimaan pajak hanya sekadar insentif tambahan dan bukan sumber penerimaan negara yang utama. Sementara bagi Indonesia, penerimaan negara sekitar 70 persennya berasal dari pajak.
Bisa-bisa, kata dia, jika rencana penurunan tarif PPh tersebut direalisasikan target penerimaan pajak dipastikan bakal meleset dari target. ?Itu (transaksi ke luar negeri) nggak bisa dikontrol pemerintah. Lebih baik kaji persoalan pajak yang komprehensif, ketimbang parsial per negara,? tutur dia.
Secara terpisah Roni Bako mengatakan, Indonesia tak mungkin mengikuti tarif pajak Singapura karena jumlah penduduk dan besaran penerimaan yang berbeda. Apabila ini dilakukan, target penerimaan pajak tumbuh 32 persen pada tahun ini, dan target rasio pajak sebesar 16 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2019 akan sulit tercapai.
Menurut dia, seharusnya pemerintah justru mendorong kewajiban penggunaan bank dalam negeri dalam melakukan transaksi. Selama ini, kewajiban tersebut hanya diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Semestinya, pemerintah mengatur hal ini dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP).
?Negara tidak boleh campur tangan untuk transaksi, tapi bisa dengan kewajiban menggunakan bank dalam negeri. Kebijakan ini sudah ada, tapi tidak digubris karena level peraturannya di BI, seharusnya pakai PP,? kata dia.