Khawatir Dimanfaatkan Spekulan, Pemerintah Pernah Tolak RUU Tapera

KATADATA
Aktivitas penghuni rumah susun milik (rusunami) Klender, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
23/2/2015, 12.56 WIB

KATADATA ? DPR memasukkan RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2015. Namun, RUU tersebut sebetulnya sudah pernah ditolak oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Asisten Koodinator Kelompok Kerja Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ari Perdana mengatakan Wakil Presiden Boediono adalah tokoh di balik penolakan RUU tersebut. Dia mengakui pernah diminta Boediono untuk menyusun draf penolakan tersebut.

Meski begitu, di internal pemerintah pada saat itu terdapat perbedaan pandangan. Kementerian Perumahan Rakyat menginginkan agar RUU tersebut diloloskan, sedangkan Kementerian Keuangan bersama Boediono menolaknya.

Penolakan pada waktu itu didasarkan kekhawatiran ada pihak-pihak yang akan mengambil keuntungan dari tabungan perumahan tersebut. Persoalannya, dalam skema Tapera, tidak ada koneksi antara iuran dengan penggunaannya, karena uang yang dibayarkan belum tentu dipakai untuk membangun rumah orang yang membayar iuran tersebut.

?Iuran yang dicicil belum tentu menjadi miliknya karena dibangunnya di suatu tempat yang mereka belum tahu,? kata Ari saat dihubungi Katadata, Minggu (22/2). ?Masyarakat ujung-ujungnya akan tetap dibebani harga rumah yang cicilannya terus-menerus naik.?

Mestinya, kata dia, pemerintah bisa memanfaatkan pungutan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk membantu masyarakat miskin memiliki rumah. Apalagi, BPJS Ketenagakerjaan pun sudah memungut dana pensiun yang bisa dipakai untuk uang muka rumah pertama seperti yang berlaku di banyak negara.

?Daripada menambah pungutan-pungutan lain yang membebani masyarakat,? kata dia. (Baca: Pernah Ditolak Pemerintah, DPR Kembali Usulkan RUU Tapera)

Dalam pandangan Boediono, penyelesaian permasalahan perumahan rakyat berpenghasilan bawah bukan dengan membebankan cicilan. Tapi dilakukan dengan memenuhi pasokan lahan yang akan dipakai untuk membangun tempat tinggal.

Selain itu, penolakan juga didasarkan pada keberadaan Badan Pengelola Perumahan Rakyat (BPPR) yang berperan ganda, sebagai pengumpul sekaligus mengelola dana tabungan perumahan. Apalagi pemerintah pun mesti memberikan penyertaan modal Rp 1 triliun untuk operasional awal BPPR.  

RUU ini gagal disahkan pada sidang paripurna September tahun lalu. Padahal pembahasannya sudah berjalan alot selama dua tahun. Penyebabnya karena pemerintah mengajukan permohonan untuk menarik RUU terdiri dari 12 Bab dan 78 pasal tersebut.

Ketua Panja RUU Tapera pada saat itu Yosef Umar Hadi menyayangkan keputusan pemerintah tersebut. "Kami kecewa atas penarikan diri pemerintah, apalagi pembahasannya telah memakan banyak waktu dan tenaga kita," ujarnya kala itu.

Dalam pembahasan RUU saat itu memang sudah terlihat perbedaan pendapat di internal pemerintah. Kementerian Perumahan Rakyat tetap menginginkan RUU ini disahkan, sementara Kementerian Keuangan menolak. Chatib Basri, Menteri Keuangan saat itu, mengakui ada perbedaan mengenai besaran iuran wajib peserta Tapera. 

Reporter: Ameidyo Daud Nasution