KATADATA ? Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi menemukan indikasi ketidakefisienan dalam proses produksi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium selama ini.
Indikasi ketidakefisienan tersebut lantaran PT Pertamina (Persero) selama ini mengimpor BBM berjenis Research Octane Number (RON) 92 atau pertamax yang kemudian diolah lagi menjadi RON 88 atau premium. Proses mengoplos tersebut menimbulkan biaya tambahan sehingga harganya menjadi lebih mahal.
?Mestinya harga RON 88 lebih murah, tapi karena harus dioplos atau diolah, akhirnya harganya hampir sama dengan RON 92 tadi,? kata Fahmy Radhi, anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, seusai melakukan pertemuan dengan Kementerian ESDM dan Pertamina di Jakarta, Rabu (3/12).
Persoalannya, mengolah RON 92 menjadi RON 88 membutuhkan tambahan biaya. Alhasil itu yang menyebabkan harga BBM bersubsidi pun naik.
Lebih lanjut Fahmy mengatakan, proses penentuan harga patokan BBM bersubsidi pun banyak terjadi kejanggalan. Ini karena banyak asumsi harga sehingga membuka peluang terjadi permainan.
Padahal, Pertamina selama ini mengaku selalu mengundang tenaga ahli dalam membuat formula perhitungan harga patokan BBM. Tapi harga tersebut ternyata lebih rendah dengan harga patokan yang ditetapkan pemerintah dan DPR dalam pembahasan APBN.
Perbedaan harga dan terdapat banyak asumsi tersebut mengindikasikan adanya permainan mafia dalam penyediaan BBM bersubsidi. ?Berdasarkan kajian kami kalau memang ada selisih seperti itu bisa juga kita usulkan pakai salah satu (asumsi), daripada ada selisih,? tutur Fahmy.
Pemerintah, Pertamina, dan Tim Reformasi Tata Kelola Migas sepakat akan melakukan penelusuran lebih mendalam terkait penyusunan asumsi dalam perhitungan tersebut. ?Ini harus ada (formula) yang lebih sederhana agar mencegah lubang-lubang tadi,? ujarnya.
Pertamina Membantah
Vice President Communication Pertamina Ali Mundakir membantah pihaknya mengimpor RON 92 yang kemudian diolah menjadi RON 88 atau premium. Selama ini, perseroan selalu memesan RON 88 untuk diolah menjadi premium. Namun, dia mengakui sempat ada beberapa kargo yang dikirim merupakan RON 90.
Kendati begitu, perseroan tetap akan membayar dengan harga RON 88 karena yang dipesan adalah minyak tipe itu. Menurut Ali, jika ada RON 92 yang diterima Pertamina itu karena produsen kehabisan RON 88 namun ada keterikatan bisnis untuk batas waktu pengiriman.
?Pernah ada 1 kargo-2 kargo RON 90 dari puluhan kargo RON 88. Karena mereka (perusahaan trader migas) kan harus men-deliver. Jadi itu yang dikirim," kata Ali saat ditemui Katadata, di Jakarta, Rabu (3/12).
Jika keadaannya seperti itu, lanjutnya, pemerintah tidak akan membayar dengan harga RON 92. Dia mengatakan, Pertamina telah memberikan data mengenai kinerja perusahaan, kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan lengkap. Untuk itu, dia berharap, Tim Reformasi berhati-hati dalam memberikan pernyataan. ?Jangan sampai apa yang disampaikan menjadi bias di masyarakat,? ujarnya.