KATADATA ?  Indonesia tertinggal jauh di belakang Malaysia dalam hal tata kelola energi. Terlebih setelah Malaysia menghentikan pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM) mulai 1 Desember. 

Ekonom Bank DBS Gundy Cahyadi menjelaskan Malaysia kini masih tercatat sebagai negara net eksportir minyak, sedangkan Indonesia kini menjadi net importir. Namun Malaysia menghadapi defisit fiskal yang besar.

Dia menjelaskan dalam waktu lima tahun terakhir, Malaysia merupakan salah satu negara dengan defisit fiskal terbesar di kawasan Asia. Makanya, desakan menaikkan harga BBM terus bermunculan. Kebijakan itu diharapkan dapat menurunkan defisit sekitar 5 persen dari APBN Malaysia. 

"Sekarang sudah tidak ada lagi subsidi BBM di Malaysia," ujar Gundy kepada Katadata.

Pemerintah Malaysia juga menghadapi tekanan politik seperti yang terjadi di Indonesia. Namun Malaysia lebih beruntung karena tingkat inflasi yang jauh lebih terkendali di banding Indonesia. Inflasi negara tetangga berada di kisaran 4 persen ketika harga BBM dinaikkan, sedangkan Indonesia bisa di atas 7 persen.

Kebijakan penghapusan subsidi BBM ini disambut positif oleh investor. Investor menilai pemerintah lebih serius melakukan reformasi fiskal. Penghapusan subsidi BBM di Malaysia juga tidak begitu sulit karena perbedaan harga BBM subsidi dengan non subsidi tak begitu jauh, yaitu sekitar 10 persen. "Karena Malaysia memang sudah beberapa kali melakukan kenaikan harga," ujarnya.

Pemerintah Malaysia akan menghapus subsidi BBM jenis RON95 atau Pertamax Plus dan solar mulai 1 Desember mendatang. Sehingga harga eceran RON95 dan solar akan naik turun mengikuti harga dunia, seperti harga RON97. Harga minyak akan diumumkan setiap bulan, berdasarkan harga rata-rata per bulannya.

Kebijakan itu untuk mengurangi defisit anggaran yang terus mendera Malaysia. Subsidi BBM di Malaysia menghabiskan anggaran 24 juta ringgit, dan menjadi faktor utama defisit APBN dalam 10 tahun terakhir.

Reporter: Petrus Lelyemin