KATADATA ? Mantan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Baharuddin Aritonang mengungkapkan ada beberapa hambatan bagi BPK dalam menjalankan tugasnya. Dalam penelitiannya, Baharudin menemukan Undang-Undang (UU) maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan BPK, tidak sejalan dengan UUD 1945.
Dia mencontohkan, pada UU Nomor 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), tidak menyebutkan BPK sebagai lembaga yang dapat memeroleh laporan transaksi keuangan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). ?Padahal sudah jelas diatur di UUD 1945, jika BPK sebagai lembaga negara yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,? ujar Baharudin, saat memaparkan disertasinya yang berjudul ?Pelaksanaan Tugas BPK dalam Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Baik Pasca Perubahan UUD 1945?, di Universitas Trisakti, Rabu (18/6).
Contoh lainnya, dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidan Korupsi yang tidak menyebutkan secara tegas, kemana penyidik harus menyerahkan berkas perkara hasil penyelidikan. Sehingga dalam pelaksananya, banyak perkara yang menyajikan perhitungan kerugian negara ke instansi selain BPK.
Selain itu, pada pasal 22 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2005 mengenai pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), hanya menyebutkan bahwa BPK tetap dapat melaksanakan pemeriksaan dan pengawasan dibidang PNBP. Frasa ?tetap dapat?, kata Baharuddin, memberi ketidakpastian hukum bagi BPK untuk melaksanakan tugas tersebut. ?Karena sifatnya hanya jadi alternatif dan tidak mengikat,? tuturnya.
Dia meyakini, jika ada upaya dari pemerintah untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan tersebut, BPK dapat melaksanakan tugas dengan lebih baik. Untuk itu, dia menyarankan kepada presiden terpilih nantinya, dapat mengevaluasi kembali peraturan perundang-undangan yang menyangkut fungsi dan tugas BPK.
Termasuk mengenai praktik dualisme pemeriksaan antara Badan Pengawasan Keuangan dan pembangunan (BPKP) dan BPK, karena fungsinya yang hampir sama. Sama seperti usulan fraksi di MPR saat merumuskan perubahan UUD 1945, Baharuddin menyarankan pula agar BPKP digabungkan dengan BPK. ?Di pasal 23 UUD 1945, BPKP harus punya perwakilan dari setiap provinsi. Kalau digabungkan kan akan lebih efisien. Hal ini sudah pernah diajukan ke presiden, namun tidak ada tanggapan,? terangnya.
Untuk itu, dia menyarankan kepada presiden terpilih nantinya untuk mengevaluasi kembali peraturan perundang-undangan, yang terkait dengan fungsi dan tugas BPK ini. Lanjutnya, presiden juga harus memahami dengan baik esensi dari konstitusi, sehingga mampu mengorganisasikan semua perangkat negara dengan baik.
?Evaluasi terhadap itu (peraturan perundang-undangan) mau tidak mau harus dilakukan. Sebelum memilih pembantunya, tanyakan dulu apa konsepnya. Dan saran saya, satu saja badan pengawas keuangannya,? tutup Baharuddin.
Sementara Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yunto menyinggung tentang kelemahan aturan BPK dalam hal proses seleksi anggotanya. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, menyebut anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan diresmikan dengan keputusan presiden.
?DPR menyaring sendiri dan memilih sendiri. Kecenderungan yang akan muncul adalah dia akan pilih teman-teman dia, bukan orang yang kapabel atau kredibel,? ujar Emerson.
Proses seleksi ini akan berpengaruh pada kinerja dan independensi anggota BPK. Makanya, ke depannya ICW berencana mendorong mekanisme seleksi anggota BPK untuk dibenahi, yaitu dengan merevisi aturan Undang-Undang BPK. Bisa saja, kata Emerson, mencontoh pemilihan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, seperti yang dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, yakni calon ketua KPK diusulkan oleh Presiden dengan mekanisme seleksi yang terbuka, kemudian DPR tinggal memilihnya.