KATADATA ? KATADATA ? Penghitungan kerugian negara dalam kasus Century oleh Badan Pemeriksa Keuangaan (BPK) dinilai janggal. Salah satu yang disorot, yaitu total kerugian negara Rp 7,45 triliun sebagai hasil dari penjumlahan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) ke bank bobrok ini.
Kritik tajam salah satunya dilontarkan oleh pakar hukum perbankan Pradjoto. FPJP, menurut dia, secara yuridis merupakan perjanjian perdata, yang tunduk di bawah hukum perdata. ?Bagaimana mungkin perikatan perdata bergeser menjadi tindak pidana?? tuturnya. Apalagi, ?FPJP itu juga sudah lunas dan selesai.?
Dalam laporan hasil perhitungan (LHP) yang disampaikan kepada KPK, BPK menyebutkan telah terjadi kerugian negara dalam kasus Century senilai total Rp 7,45 triliun. Ketua BPK Hadi Purnomo menjelaskan, kerugian negara itu berasal dari FPJP Rp 689,4 miliar, plus Penyertaan Modal Rp 6,76 triliun setelah Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Menurut Direktur Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Dyah Nastiti N.K. Makhijani dalam siaran persnya pada 4 Maret 2010, FPJP tersebut telah dilunasi oleh Bank Mutiara (nama baru Bank Century) ke bank sentral pada 11 Februari 2009.
Sehubungan dengan itu, salah seorang sumber di lembaga auditor negara itu pun mengaku heran dengan besaran kerugian negara versi BPK. Sebab, angka Rp 7,45 triliun tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai FPJP yang telah dilunasi dengan nilai penyertaan modal sementara. ?Ini double counting alias penghitungan ganda,? ujarnya.
Hal lain yang juga digarisbawahi oleh Pradjoto bersama pakar hukum perbankan lainnya, Prof. Sutan Remy Sjahdeini, dan akuntan senior Ahmadi Hadibroto, yaitu bahwa sesungguhnya belum ada kerugian negara dalam kasus Century. Sebab, bank ini sejak diselamatkan pada November 2008 belum dijual ke pihak mana pun. (Baca: Tiga Pakar Tolak Kerugian Negara Versi BPK dan KPK).
Kalau pun nantinya harga penjualan Bank Century di bawah Rp 6,76 triliun, Sutan Remy mengingatkan, tidak otomatis bisa dinyatakan telah terjadi kerugian negara. Sebab, tergantung pada skema perjanjian yang dibuat, yaitu apakah pembeli bank tersebut mengambil alih atau tidak sisa ongkos penyelamatan.
Sekalipun tidak dijual, ia menambahkan, Bank Century bisa saja melunasi ongkos penyelamatan. ?Misalnya Bank Century membayar dengan pinjaman atau bentuk yang lain,? kata Guru Besar Fakultas Hukum dari Universitas Airlangga dan Universitas Indonesia ini.
Pendapat lain diungkapkan oleh Pradjoto. Menurut dia, jika nantinya Bank Century dijual dan harganya di bawah Rp 6,76 triliun, bisa saja hal ini dinilai sebagai kerugian. Meski begitu, kata dia, untuk mengukur seberapa besar kerugian yang terjadi, ada dua faktor yang harus dilihat.
Pertama, apakah ada kompensasi yang datang dari aset-aset Bank Century yang selama ini dikejar aparat hukum. ?Jika kompensasi nihil, maka siapakah yang turut menggali kerugian negara itu?? ujar pakar hukum perbankan yang pernah mengungkap kasus Bank Bali ini.
Pertimbangan kedua, perlu dilihat adanya kompensasi berupa stabilitas perbankan secara umum terkait situasi krisis 2008 yang secara nyata terwujud. Yang terjadi bukanlah kerugian negara, namun keuntungan negara. Sehingga yang menjadi perdebatan adalah ada-tidaknya krisis. ?Siapa yang menentukan itu??
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri menolak menjelaskan lebih jauh ihwal kerugian negara dalam kasus Century. ?Itu kan sudah masuk pengadilan, jadi penjelasan nanti akan disampaikan di muka pengadilan,? ujarnya. ?Biarkan pengadilan bekerja.?