BI Borong Surat Utang Pemerintah Rp 22,8 Triliun di Pasar Perdana

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut bahwa BI akan terus membagi beban alias burden sharing bersama pemerintah dalam menangani dampak pandemi corona.
19/5/2020, 19.54 WIB

Bank Indonesia memcatat telah membeli surat utang negara di pasar perdana sebanyak Rp 22,8 triliun. BI pertama kali memulai pembelian Surat Berharga Negara di pasar perdana pada Selasa (21/4) sesuai dengan tambahan kewenangan yang termuat dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020. 

"Dapat saya sampaikan sejak keputusan bersama, BI telah membeli Rp 22,8 triliun SBN dari pasar perdana yang diterbitkan pemerintah untuk pembiayaan defisit fiskal. Ini pembelian sampai dengan 14 Mei yang lalu," kata Gubernur BI dalam konferensi video, Selasa (19/5).

Ia menyebut BI berkomitmen untuk terus mendukung pemerintah dalam membiayai defisit fiskal. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa pihaknya juga telah memberikan remunerasi sebesar 80% dari bunga acuan BI kepada rekening pemerintah di bank sentral.

Tak hanya itu, Perry juga menyebut bahwa BI akan terus membagi beban alias burden sharing bersama pemerintah dalam menangani dampak pandemi corona. "Karena semuanya kita tujukan bagaimana kita dapat segera pulih dari virus corona," ujarnya.

(Baca: BI Jamin Likuiditas Bank Terjaga untuk Lakukan Restrukturisasi Kredit)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  2020 berpotensi melebar mencapai Rp 1.028,5 triliun atau 6,27% terhadap produk domestik bruto. Pemerintah sebelumnya telah melebarkan defisit APBN 2020 hingga 5,07% terhadap PDB atau mencapai Rp 852,9 triliun. Ini termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2020.

"APBN bisa defisit Rp 1.028,5 triliun atau 6,72% dalam rangka memerangi dan mendorong ekonomi agar bertahan di tengah tekanan virus corona dan diharapkan bisa pulih lagi," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Senin (18/5).

Sri Mulyani memerinci, outlook pendapatan negara tahun ini hanya akan mencapai Rp 1.691,6 triliun, turun 13,6% dibandingkan realisasi 2019 sebesar Rp 1.957,2 triliun. Angka ini juga lebih rendah Rp 69,3 triliun dari target Perpres 54 tahun 2020 yang sebesar Rp 1.760,9 triliun.

(Baca: BI Siapkan Dana Rp 563,6 Triliun untuk Jaga Likuiditas Perbankan)

Outlook pendapatan negara tersebut pun terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.404,5 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 286,6 triliun.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menilai outlook penerimaan perpajakan dan PNBP tersebut terkontraksi masing-masing 9,2% dan 29,6% dibandingkan tahun lalu. "Ini akibat dari begitu banyak insentif pajak diberikan dan pelemahan ekonomi di semua sektor," katanya.

Di tengah pendapatan negara yang semakin seret, belanja negara justru diproyeksi lebih tinggi Rp 106,3 triliun dibandingkan Perpres 54 tahun 2020 sebesar Rp 2.613,8 triliun. Dalam outlook perubahan APBN 2020, belanja negara dipatok sebesar Rp 2.720,1 triliun.

Reporter: Agatha Olivia Victoria