Pemerintah bakal memberikan bantuan langsung tunai atau BLT untuk pegawai swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan. Setiap penerima akan mendapat uang tunai Rp 600 ribu selama empat bulan atau total Rp 2,4 juta.
Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 33,1 triliun untuik program ini. Sasaran bantuannya adalah 13,8 juta pegawai formal yang terdaftar dan membayar iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jumlah tersebut merupakan pekerja yang aktif terdaftar di BPSJ Ketenagakerjaan dengan iuran di bawah Rp 150 ribu per bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.
BPJS Ketenagakerjaan saat ini masih melakukan proses validasi data pegawai. Dana bantuan ini nantinya akan diberikan langsung ke rekening pegawai yang berhak mendapatkan bantuan.
Ketua Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bantuan tersebut akan dicairkan dua kali tahun ini. “Tahap pertama pada kuartal III dan tahap kedua pada kuartal IV,” Kata Budi dalam konferensi virtual, Jumat (07/08).
Menilik penjelasan Budi, pemberian dana bantuan kemungkinan besar akan dicairkan setiap dua bulan sekali kepada rekening pekerja. Dengan kata lain, penerima bantuan akan menerima dana sebesar Rp 1,2 juta saat pencairan bantuan.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir menyebut bantuan ini akan mulai disalurkan mulai bulan September. “Saat ini program untuk BLT sedang difinalisasi dan akan dijalankan Kementerian Ketenagakerjaan pada September 2020,” ujar Erick dalam keterangan tertulisnya.
Siasat Pemerintah Menggenjot Daya Beli
Sebelum BLT pegawai swasta cair pada bulan September, pemberian gaji ke-13 aparatur sipil negara mulai dilakukan hari ini. Seluruh bantuan tersebut bertujuan untuk menggenjot kembali daya beli masyarakat di kuartal III-2020.
Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2020 terkontraksi 5,32% dibandingkan periode yang sama 2019. Secara kuartalan, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 4,19% dibandingkan kuartal I-2020.
Lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lepas dari merosotnya kinerja konsumsi rumah tangga yang tumbuh negaitf hingga 5,51% secara tahunan atau year-on-year. Padahal, perekonomian Indonesia didominasi oleh komponen pengeluaran rumah tangga yang mencakup lebih dari separuh pendapatan domestik bruto (PDB).
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bantuan ini dapat secara langsung menjaga daya beli kalangan pekerja di Indonesia. Selain itu, dana tersebut memberikan kesejahteraan pekerja dan keluarganya yang terdampak pandemi Covid-19.
“Kami ingin memastikan daya beli dan konsumsi tetap terjaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat,” kata Ida.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, ekonomi Indonesia masih berpotensi tumbuh 0,5% di kuartal III 2020. “Untuk kuartal III, kami berharap growth minimal 0% dan positif 0,5%,” ucapnya.
Bagaimana Nasib Pekerja Informal?
Tak hanya pekerja formal, lembaga riset SMERU menyebut pemerintah juga perlu memperhatikan tenaga kerja informal dalam menghadapi krisis pandemi Covid-19 ini. Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, tenaga kerja berketerampilan rendah semakin terdorong ke sektor informal.
Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan masyarakat miskin, rentan miskin, dan yang bekerja di sektor informal merupakan yang paling terdampak dari pandemi Covid-19. Berdasarkan kelompok pendapatan, melansir dari data Badan Pusat Statistik, sebanyak 70,53% responden dalam kelompok berpendapatan rendah atau di bawah Rp 1,8 juta mengaku mengalami penurunan pendapatan.
Padahal, jumlah pekerja informal masih mendominasi pekerjaan di Indonesia. Pada Februari 2019, tercatat penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal sebanyak 74 juta jiwa. Sementara penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 55,3 juta jiwa.
Dukungan pemerintah dapat menjadi jalan keluar pekerja sektor informal beralih menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini diperlukan untuk meningkatkan produktivitas pelaku UMKM.
Pertumbuhan produktivitas sektor informal yang diikuti dengan membesarnya skala usaha diharapkan dapat menjadi upaya untuk menyerap tenaga kerja yang tidak terserap kembali oleh perusahaan pascapandemi COVID-19.
Wajah muram ketenagajerjaan Indonesia nampak setelah terjadi peningkatan pengangguran di tahun ini. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Manoarfa sebelumnya menyebut total jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai 10,7 juta orang karena terdampak Covid-19.
Pascapandemi, SMERU menyebut sektor teknologi bakal menyumbang lapangan pekerjaan dengan jumlah tinggi. Potensi ini tumbuh karena teknologi memungkinkan proses ekonomi terus berjalan meski tanpa adanya kontak fisik antar manusia.
Dengan kata lain, tenaga kerja dengan keterampilan teknologi tinggi punya peluang lebih menyongsong lapangan pekerjaan di era setelah pandemi. Di sisi lain, program kartu prakerja yang diluncurkan pemerintah justru tidak mendorong calon pekerja ke industri unggulan.
Mengesampingkan anggaran dana kartu prakerja, pemerintah tidak memetakan secara detail industri yang diharapkan menjadi sasaran pelatihan. Alih-alih mendapatkan pelatihan di sektor industri potensial, peserta kartu prakerja justru berbondong-bondong melirik pelatihan di sektor informal.
Salah satunya adalah pelatihan ojek daring atau online yang diminati 15.735 peserta pelatihan pada gelombang I April 2020. Kenyataan ini, menurut riset dari Univeritas Gadjah Mada, berpotensi terjadi deskilling dan skill trap atau keterbatasan keterampilan yang berimplikasi pada pelemahan posisi pekerja di kalangan pekerja muda.
Pasalnya, pekerja informal seperti pengemudi ojek online minim mendapatkan peningkatan karir, keterampilan, dan pendapatan. Penelitian yang dilakukan di DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Banyuwangi pada 2019 ini menyebut, penyerapan pekerja dalam jumlah masif belum tentu baik secara ekonomi dan sosial.
Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)