Bank Dunia: Belajar Online Berpengaruh pada Pendapatan Masa Depan Anak

ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc.
Ilustrasi. Bank Dunia memperkirakan belajar online dapat mempengaruhi kualitas SDM di negara-negara kawasan Asia Timur dan Pasifik.
15/10/2020, 10.10 WIB

Bank Dunia memperkirakan kegiatan belajar daring atau online dapat mempengaruhi pendapatan siswa di masa depan. Rata-rata pendapatan siswa di wilayah Asia Timur dan Pasifik berpotensi hilang US$ 865 atau setara Rp 12,72 juta per tahun saat bekerja.

"Ini setara dengan pengurangan, rata-rata sebesar empat persen dari pendapatan yang diharapkan per tahun jika pandemi Covid-19 tak terjadi," kata Bank Dunia dalam Laporan untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik edisi Oktober.

Bank Dunia menghitung potensi tersebut menggunakan data paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik pada 2017 sebagai dasar perhitungan. Para siswa di negara berpendapatan tinggi kawasan ini akan menghadapi potensi pengurangan pendapatan paling tinggi mencapai US$ 2.000 per tahun.

Potensi kehilangan pendapatan ini menggunakan skenario menengah Pandemi Covid-19. Penutupan sekolah yang diperkirakan berlangsung hingga akhir tahun ini di sebagian besar negara kawasan akibat Covid-19 dapat menyebabkan hilangnya 0,7% dari total harapan anak bersekolah di masing-masing negara.

Di Tiongkok dan Negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan FIlipina), hilangnya waktu sekolah akibat belajar online mencaoai 0,8%, sedangkan di Asia Timur sebesar 0,7 %, dan 0,4% di negara-negara Kepulauan Pasifik yang sebagian besar tidak menutup sekolah.

Dampak buruk dari krisis Covid-19 terhadap SDM diperkirakan lebih besar pada masyarakat miskin. Rumah tangga miskinkurang memiliki akses pada teknologi seluler yang memungkinkan pembelajaran jarak jauh selama periode penutupan sekolah.

"Analisis simulasi menunjukkan bahwa hasil belajar masyarakat miskin lebih banyak terpengaruh oleh penutupan sekolah dibandingkan yang tidak miskin," kata Bank Dunia.

Bank dunia pun menyarankan negara-negara di kawasan tersebut  menyusun strategi pendidikan sekolah pintar guna untuk melindungi siswa, staf, guru dan keluarga mereka  yang mencakup protokol kesehatan, praktek menjaga jarak sosial. 

Pemerintah Indonesia saat ini telah mengupayakan bantuan ponsel hingga subsidi pulsa untuk membantu anak-anak terutama dari keluarga miskin untuk dapat bersekolah secara daring.  Total anggaran yang disiapkan untuk subsidi pulsa mencapai Rp 7,2 triliun. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan pemerintah telah mengalokasikan 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara per tahunnya untuk mendukung pendidikan. Pada tahun ini, anggaran pendidikan dialokasikan Rp 508,1 triliun dalam APBN.

Anggaran pendidikan dalam APBN meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2016 dialokasikan Rp 370,8 triliun, tahun 2017 Rp 406,1 triliun. Lalu pada 2018 Rp 431,7 triliun dan 2019 Rp 478,4 triliun. Meski demikian, Sri Mulyani menyebut hanya  9% masyarakat Indonesia yang mampu dan memiliki keberuntungan untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. 

Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai pemerintah tidak pernah  menggunakan anggaran pendidikan secara optimal. "Padahal sudah naik setiap tahun," ujar Piter kepada Katadata.co.id, Rabu (14/10).

Dengan begitu, bukan anggaran pendidikannya yang bermasalah, tetapi konsep strategi dan programnya tidak disusun dengan baik.

Adapun target program pendidikan dari alokasi anggaran pendidikan 2020 itu yakni Rp 4,5 triliun untuk BOP PAUD, Rp 64 triliun untuk bantuan operasional sekolah kepada 54,8 juta siswa, Rp 307,6 miliar untuk Sarpras PAUD, Rp 8 triliun untuk pembangunan dan rehabilitas 14 ribu ruang kelas.

Kemudian Rp 4,4 triliun untuk pembangunan dan rehabilitas 41 kampus, Rp 284,1 miliar untuk 104 riset oleh LPDP, Rp 1,8 triliun untuk beasiswa S2/S3 LPDP sebanyak 5 ribu mahasiswa baru dan 12.333 mahasiswa lanjutan. Rp 6,7 triliun untuk KIP Kuliah kepada 819 ribu mahasiswa, dan Rp 11,1 triliun untuk KIP SD/SMP/SMA sederajat kepada 20,1 juta siswa.

Reporter: Agatha Olivia Victoria