Bank Indonesia akhirnya memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 3,75% seiring inflasi yang rendah dan meredanya tekanan di pasar keuangan global. Keputusan BI direspons dengan pelemahan tipis rupiah yang terjadi sejak kemarin dan berlanjut pada hari ini.
Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah pada perdagangan hari ini ditutup melemah 0,07% ke Rp 14.0165 per dolar AS, setelah sempat diperdangkan di level Rp 14.200 per dolar AS tadi siang. Rupiah pada perdagangan kemarin juga melemah setelah bank sentral mengumumkan bunga acuan. Namun, pelemahan rupiah sudah terjadi sejak pagi akibat lonjakan kasus Covid-19 yang memicu penguncian wilayah di Australia Selatan.
Meski demikian, sepekan ini rupiah masih berhasil menguat tipis 0,03%. Berdasarkan data perkembangan rupiah yang dirilis BI hari ini, aliran modal asing pada Senin hingga Kamis pekan ini masuk ke instrumen portofolio domestik sebesar Rp 8,53 triliun. Aliran modal asing tersebut masuk ke pasar SBN sebesar Rp 7,04 triliun, sedangkan ke pasar saham masuk Rp 1,49 triliun.
Sementara pada Jumat (20/11), RTI mencatat asing keluar dari seluruh pasar saham mencapai Rp 433,7 miliar. Imbal hasil SBN 10 tahun juga naik tipis dari 6,15% pada Kamis sore menjadi 6,16% pada pagi hari ini.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Suhaebi menjelaskan, penurunan suku bunga acuannya BI mendorong aliran modal asing keluar dari pasar surat berharga negara. "Ini diluar dugaan dan pada akhirnya pasar merespon negatif kebijakan itu," kata Ibrahim kepada Katadata.co.id, Jumat (20/11).
Konsensus pasar yang digelar Bloomberg sebelumnya memproyeksi BI akan menahan suku bunga acuan. Ibrahim menilai bukan waktu yang tepat bagi bank sentral memangkas bunga acuan saat ini karena banyak negara yang akan menerapkan kebijakan serupa bulan ini.
Ia memperkirakan modal asing masih berpotensi keluar pada pekan depan. Namun, hal tersebut masih akan berfluktuatif mengingat masih banyaknya ketidakpastian. Hal tersebut pun juga akan menjadi faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah pekan depan.
Banjir Likuiditas Global Masih Menanti
Berbeda dengan konsensus pasar, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjelaskan, pihaknya sejak awal memperkirakan bank sentral akan memilih untuk memangkas bunga acuan. Ia memperkirakan BI akan mempertahankan bunga acuan 3,75% hingga 2021. Kondisi eksternal saat ini membuka ruang sangat besar untuk BI menjaga tingkat bunga rendah.
"Ini sejalan dengan sinyal dari Bank Sentral AS, The Federal Reserve yang akan menjaga tingkat bunga mendekati 0% hingga 2023 dan program pelonggaran kuantitatif, banjir likuiditas global, dan efek kemenangan Joe Biden dalam Pilpres AS," ujar Faisal dalam riset yang dirilis, Kamis (19/11).
Kemenangan Joe Biden diyakinin akan mendorong aliran modal asing semakin deras ke pasar negara berkembang. Ini sudah terbukti pada pekan pertama kemenangan Biden dari hasil perhitungan cepat. Rupiah melesat hampir 600 poin setelah hasil perhitungan cepat Pilpres AS mengunggulkan Biden atas Donald Trump.
Keputusan BI untuk memangkas bunga acuan juga didukung oleh data-data ekonomi domestik. Inflasi Oktober secara tahun kalender baru mencapai 0,95% dan 1,4% secara tahunan. Bank sentral memproyeksi inflasi akan berada di bawah 2% pada sepanjang tahun ini. Nilai tukar rupiah yang sejak Juli menjadi alasan BI menahan suku bunga acuan juga bergerak menguat dan stabil sejak kemenangan Biden.
Sementara neraca transaksi berjalan kuartal III 2020 yang dirilis Jumat (20/11) mencatatkan surplus sebesar US$ 1 miliar, pertama kali sejak kuartal III 2011. Surplus transaksi berjalan ditopang oleh neraca perdagangan yang surplus besar akibat ekspor yang membaik dan impor yang masih sangat tertekan.
Neraca pembayaran secara keseluruhan juga mencatatkan surplus sebesar US$ 2,1 miliar, meski turun dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar US$ 9,2 miliar.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, penurunan bunga BI membuat selisih imbal hasil SBN dengan surat berharga berbagai negara lainnya, terutama treasury AS menyempit. Namun, menurut David, imbal hasil SBN masih sangat menarik, apalagi dibandingkan dengan negara-negara maju.
"Modal asing masih berpotensi masuk deras walaupun bunga BI turun karena imbal hasil kita masih menarik dan ada banjir likuiditas global." katanya.
Banjir likuiditas, antara lain akan datang dari kebijakan tambahan stimulus oleh pemerintah Amerika Serikat maupun The Fed. Selain itu, Bank Sentral Eropa dan negara maju lainnya juga berpotensi menambah lagi suntikan likuiditas di pasar guna mendorong pemulihan ekonomi yang kini tengah melambat akibat lonjakan kasus baru Covid-19.
Ekonom OCBC Singapura Wellian Wiranto menilai pemangkasan suku bunga acuan BI memang di luar konsensus pasar, tetapi sesuai prediksi OCBC . Melihat langkah BI kemarin, ia memperkirakan masih ada potensi penurunan bunga di bulan depan. Namun dengan syarat, kondisi rupiah stabil menjelang Rapat Dewan Gubernur pada pertengahan bulan depan.
"Tapi kami tidak memperkirakan BI akan memangkas suku bunga hingga di bawah 3,5% untuk mengamankan selisih imbal hasil SBN dengan negara lain, terutama treasury AS," katanya.