Gencarnya Burden Sharing dan Utang Bilateral Pemerintah di Ujung Tahun

123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilustrasi. Pemerintah mencatat realisasi pembiayaan utang hingga Oktober sebesar Rp 958,6 triliun.
Penulis: Agustiyanti
23/11/2020, 20.24 WIB

Pemerintah dalam dua pekan terakhir telah menarik utang dari Bank Indonesia melakui skema burden sharing mencapai Rp 44,48 triliun. Selain dari BI, pemerintah juga menarik utang bilateral dari Jerman dan Australia mencapai Rp 24,5 triliun, serta menggelar beberapa lelang surat utang negara.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, penarikan utang dari BI melalui skema private placement dilakukan pada 12 November dan 19 November masing-masing sebesar Rp 17,48 triliun dan Rp 27 triliun.

Ini dilakukan untuk memenuhi sebagian pembiayaan barang publik dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional. Kebutuhan pembiyaan melalui skema ini mencapai Rp 397,56 triliun.

Selain melalui private placement dengan BI, pemerintah pada bulan ini menarik utang melalui lelang SUN sebanyak dua kali yakni pada 3 November dan 17 November, masing-masing sebesar Rp 29,5 triliun dan Rp 24,6 triliun.

Penarikan utang juga dilakukan melalui lelang Surat Berharga Syariah Negara Rp 10 triliun pada 10 November dan penerbitan SBSN melalui private placement sebesar Rp 2 triliun pada 17 November.

Aksi pemerintah menarik utang besar-besaran dalam dua pekan pertama November, tak lepas dari realisasi target pembiyaan dari Oktober yang baru mencapai 78,5% dari target Perpres 72 Tahun 2020. Dalam Perpres yang merupakan revisi APBN 2020 itu, pemerintah menargetkan pembiayaan utang mencapai Rp 1.220,5 triliun.

"Realisasi pembiayaan utang hingga Oktober sebesar Rp 958,6 triliun. Ini masih 78,5% dari target dalam Perpres 72 tahun 2020," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Senin (23/11).

Realisasi pembiyaan terdiri dari penerbitan SBN neto Rp 743,5 triliun dan pinjaman neto Rp 15,2 triliun. Penerbitan SBN dan penarikan pinjaman neto merupakan total penerbitan SBN atau pinjaman dikurangi dengan pembayaran SBN atau pinjaman jatuh tempo.

Sri Mulyani menegaskan penarikan utang dari pinjaman multilateral, private placement dengan BI, hingga penerbitan SBN dan SBSN pada bulan ini sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat oleh pemerintah. Hal ini pun telah dikomunikasikan kepada publik.

Pandemi Covid-19, menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini membuat hampir seluruh negara harus mengambil langkah melawan siklus dengan menggelontorkan stimulus. Hal ini berdampak pada peningkatan utang.

Rata-rata porsi utang negara-negara G20 yang sebelum pandemi sudah cukup tinggi dan berada di atas 100% terhadap PDB makin melonjak. Kini, rasio utang mereka mencapai sekitar 130% terhadap PDB. Sementara rata-rata rasio utang negara emerging market yang sebelum pandemi mencapai 50% terhadap PDB, kini mencapai hingga 70%.

"Jadi rasio utang Indonesia yang sebelumnya mencapai 30% dan kini naik menjadi 36% atau 37% terhadap PDB, ada di bawah negara-negara tersebut. Tapi bukan berarti kami tidak waspada, kami akan jaga semua lini agar ekonomi tetap baik dan fiskal sustainable," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Senin (23/11).

Menurut Sri Mulyani, imbal hasil surat berharga negara mengalami perbaikan. Imbal hasil SBN rupiah turun 12,44%, sedangkan dalam dolar AS turun hingga 30,44%. "Kalau yield turun maka beban bunga utang kita menurun, rasio credit default swap lima tahun kita juga membaik," katanya.

Penarikan utang pemerintah tak lepas dari kinerja penerimaan pajak hingga Oktober 2020 yang masih jauh dari target. Penerimaan pajak baru mencapai Rp 826,94 triliun atau 68,98% dari target Perpres 72 Tahun 2020 sebesar Rp 1.198,82 triliun.

Realisasi tersebut juga anjlok 18,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, lebih dalam dari penurunan bulan sebelumnya yang mencapai 16,9%.

Realisasi total pendapatan negara masih lebih baik yakni 75,1% dari target atau mencapai Rp 1.276,9 triliun. Di sisi lain, realisasi belanja negara mencapai 74,5% atau Rp 2.041,8 triliun.

'Cetak Uang' BI Termasuk untuk Vaksin

Dirjen Pengelolan Pembiyaan dan Risiko Kemenkeu Luky Afirman menjelaskan, pembiayaan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kesepakatan bersama yang telah diteken pemerintah dan bank sentral, yakni diprioritaskan untuk mendukung kebutuhan APBN 2020. Ini termasuk untuk anggaran penyediaan vaksin.

"Sesuai kebutuhan, termasuk untuk vaksin yang memang anggarannya akan dialihkan pada 2021," ujar Luky.

Anggaran untuk vaksin sebesar Rp 34,23 triliun masuk dalam struktur baru anggaran kesehatan program Pemulihan Ekonomi Nasional setelah pemerintah melakukan sejumlah realokasi.

Dana pengadaan vaksin tersebut terdiri atas cadangan untuk tahun ini Rp 5 triliun dan cadangan program vaksinasi dan perlindungan sosial 2021 sebesar Rp 29,23 triliun. Seluruhnya akan menjadi Sisa Lebih Pembiyaan Anggaran yang sudah dibuat peruntukkannya.

Adapun pembiyaannya telah dipastikan berasal dari pinjaman BI melalui mekanisme burden sharing dengan beban 0% untuk pemerintah.

Realokasi anggaran pada program PEN dilakukan pemerintah lantaran realiasi yang minim. Hingga 9 November, penyaluran anggaran PEN baru mencapai 55,1%, terlihat dalam databoks di bawah ini.

Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan bahwa sisa SBN yang harus diserap untuk beban pembiayaan yang terdiri dari biaya kesehatan dan perlindungan sosial diterbitkan sebelum akhir tahun. "Itu kami sudah terima suratnya dari Ibu Menteri Keuangan," kata Perry pada pekan lalu.

Selain untuk biaya belanja publik, ia menyebut telah menanggung pembiayaan belanja barang nonpublik bantuan UMKM dan non-publik pembiayaan korporasi. Namun untuk pembiyaan tersebut dilakukan melalui penerbitan SBN dengan mekanisme pasar sesuai kesepakatan sebelumnya pada UU Nomor 2 tahun 2020.

BI mencatat realisasi pembelian SBN pemerintah untuk belanja barang publik dalam APBN 2020 melalui mekanisme pembelian langsung mencapai Rp270,03 triliun hingga 17 November.

Bank sentral juga telah membeli SBN di pasar perdana melalui mekanisme pasar sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020, sebesar Rp72,49 triliun, termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option dan Private Placement

Selain itu, BI telah merealisasikan pembagian beban dengan Pemerintah untuk pendanaan Non Public Goods-UMKM sebesar Rp114,81 triliun sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 7 Juli 2020.

Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, penarikan utang pemerintah dari Bank Indonesia melakukan skema burden sharing masih sesuai dengan kespekatan yang telah dibuat natara keduanya. Adapun penarikan meningkat mendekati akhir tahun karena ada kemungkinan pemerintah ingin mendorong realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional. 

"Pemerintah saya rasa ingin mendorong realisasi PEN yang masih minim, seperti pembiayaan korporasi. Sedangkan penarikan utang lainnya yang meningkat di akhir tahun selain karena belanja juga meningkat, ada utang-utang jatuh tempo yang harus dibiayai," ujar Rendy kepada Katadata.co.id, Senin (23/11). 

Kepala Ekonom BCA David Sumual menyebut, pemerintah biasanya memang menghindari penarikan utang dari pasar domestik untuk mencegah kekeringan likuiditas di Tanah Air. Hal ini pun kemungkinan kembali dilakukan meski likuiditas perbankan tengah melonggar. 

Beberapa alternatifnya, menurut dia, adalah pembiayaan dari BI yang memang telah disepakati dan pinjaman multilateral. Pemerintah pada dua pekan lalu menarik pinjaman dari Australia sebesar Rp 15 triliun, lalu dari Jerman pada pekan lalu sebesar Rp 9,1 triliun.

Reporter: Agatha Olivia Victoria